Hari itu kelas 4 berisik sekali, padahal ada Bu Wati di dalamnya. Rupanya Bu Wati memberikan waktu kepada mereka bercakap-cakap untuk lebih mengenal teman sekelasnya. Setelah itu, anak-anak kelas 4 itu dibagi dalam kelompok yang masing-masing terdiri dari 8 anak. Runi dan Rudi bergabung dengan teman-teman akrab mereka yaitu Naura, Keyla, Nia, Salsa, Bayu, dan Amir.
Kring! Kring! Kring! Bu Wati memiliki bel kecil yang ia bunyikan saat ia meminta perhatian dari murid-murid yang diajarnya.
“Kelompok kalian harus membuat wirausaha kecil-kecilan,” ucap Bu Wati setelah membunyikan bel kecilnya.
“Usahanya apa, Bu?” tanya seorang anak.
“Nah, usahanya harus kalian putuskan bersama dalam kelompok. Kalian sudah cukup saling mengenal, kan? Satu kelompok hanya boleh memiliki sebuah ide. Kalian boleh membicarakannya mulai dari sekarang,” ujar Bu Wati yang disambut suara berisik anak-anak kelas 4.
“Bagaimana kalau menyulam atau menjahit?” usul Nia. Usul itu disambut dengan kerutan dahi dan gelengan teman-temannya.
“Atau membuka biro detektif? Kita bisa terkenal seperti Sherlock Holmes,” usul Rudi.
Usul Rudi disambut gembira oleh Bayu dan Amir, para penggemar cerita detektif. Namun usul itu ditolak oleh teman-teman yang lain.
“Bagaimana kalau kita menjual makanan?” usul Runi.
“Iya, benar. Makanan yang sehat,” ujar Keyla si dokter kecil.
“Boleh juga, tapi makanan apa? Makanan, kan, banyak jenisnya,” sambut Naura.
Tak terasa Bu Wati kembali membunyikan bel kecilnya. Anak-anak itu masih belum mau membubarkan diri walaupun Bu Wati mengatakan waktunya telah habis.
“Kita harus bertemu lagi,” seru Amir.
“Ya, benar. Kalian memang harus bertemu lagi untuk membicarakan ide dan nama kelompok kalian. Kita bertemu seminggu lagi dengan sebuah ide untuk masing-masing kelompok. Ingat, 1 kelompok hanya boleh 1 ide. Jadi, kalian harus musyawarah untuk menentukannya. Minggu depannya lagi, kita semua akan menunjukkannya di bazar sekolah,” kata Bu Wati.
Anak-anak itu hanya hening sebentar saat doa untuk pulang. Setelah itu, mereka kembali riuh berbicara. Masing-masing kelompok kemudian berkelompok di halaman sekolah. Kelompok Runi dan Rudi mendapat tempat di pojokan kebun sekolah. Masing-masing mengusulkan ide wirausaha yang menurut mereka terbaik.
“Setelah dipikir-pikir, ide makanan bagus juga, tuh,” ujar Rudi.
“Tuh, kan? Apa kubilang. Semua orang itu perlu makanan,” sahut Runi.
Kedua anak kembar itu berdebat sementara teman-teman lain juga ikut berbicara. Kelompok kecil yang membentuk lingkaran itu gaduh sekali. Masing-masing berbicara memberikan pendapatnya.
“Oke teman-teman. Apakah kita bisa sepakat akan menjual makanan?” ucap Amir yang tiba-tiba berdiri di tengah lingkaran.
“Sepakat!” sahut semua anak dalam kelompok itu.
“Kita jual nasi goreng aja, yuk,” usul Runi.
“Atau mi bakso,” ujar Salsa.
“Bagaimana kalau kita jual yang belum ada di kantin?” usul Bayu.
“Hei, kamu merusak pohon singkong itu,” tegur Keyla saat melihat kaki Amir menginjak batang pohon singkong.
“Bagaimana kalau kita membuat makanan dari singkong?” seru Amir.
“Makanan dari singkong yang belum ada di kantin sekolah,” kata Rudi.
“Di kantin ada singkong goreng, singkong rebus, keripik singkong…. O ya, ada juga singkong keju,” gumam Runi mengingat-ingat.
“Getuk, asale soko telo,” senandung Naura. Naura yang bercita-cita menjadi penyanyi itu memang sering bernyanyi saat berpikir.
“Aha! Bagaimana kalau getuk?” teriak Amir.
“Hei, kamu ini mengagetkan saja,” kata Salsa.
“Iya. Bagaimana kalau getuk? Aku dan Rudi pernah membuatnya,” ujar Runi.
“Setuju!” jawab anak-anak serempak.
Delapan orang anak itu bersorak gembira. Kemudian mereka melangkah ringan untuk berjalan pulang. Sayup-sayup terdengar perbincangan di kelompok lain. Ada yang mengusulkan menjual nasi goreng dan mi bakso. Sambil berpandangan penuh arti, delapan orang anak itu tersenyum lega karena tidak memilih nasi goreng atau mi bakso. Mereka memilih getuk. Mereka menamai kelompok mereka Sahabat Getuk.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Sylvana Hamaring Toemon.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR