Hutan Alam adalah sebuah hutan yang menjadi tempat tinggal banyak hewan. Semua penghuni Hutan Alam hidup rukun dan damai. Di hutan ini, hidup juga keluarga burung bernama Pak Cicit dan Bu Cicit. Pasangan burung ini memiliki empat anak bernama Caca, Cici, Cece, dan Coco. Mereka adalah anak-anak burung yang baik dan sering membantu warga lain penghuni hutan itu.
Suatu sore, Caca dan Cici membantu Bu Ruri Kiajng mempersiapkan Rina, anaknya, yang akan mengikuti lomba kecantikan. Mereka mengumpulkan daun dan bunga untuk mendandani Rina pada saat lomba nanti.
Cece dan Coco membantu Pak Momon Monyet mempersiapkan pesta ulang tahun Kiki, anaknya. Mereka membantu memasangkan pita warna-warni di rumah Pak Momon. Hari ulang tahun Kiki bertepatan dengan lomba kecantikan yang diikuti Rina.
Hari perlombaan pun tiba. Rina berhasil mendapatkan juara pertama. Seluruh penghuni Hutan Alam berkumpul di rumah Pak Momon untuk merayakan ulang tahun Kiki sekaligus merayakan keberhasilan Rina.
Musik diputar. Mereka semua bergembira. Tanpa diduga, dengan alunan musik itu, Caca mulai bernyanyi. Mendengar itu, Cici pun mulai menari. Semua mata tertuju pada Caca dan Cici.
Semua bertepuk tangan setelah musik berhenti. Ternyata Caca memiliki suara yang merdu. Ternyata, Cici juga bisa menari dengan begitu indah. Caca dan Cici tak pernah menyadari hal itu, begitupun Pak Cicit dan Bu Cicit.
“Wah, pertunjukkan yang benar-benar hebat!” puji Pak Leo Singa.
“Suaramu bagus sekali, Caca. Dan tarianmu sangat indah, Cici,” ujar Bu Cicit bangga.
“Bakat kalian sangat bagus. Woohoo!” seru Pak Momon Monyet sambil mengangkat tangannya. Tanpa sengaja, tangan Pak Momon menyenggol gelas kecil yang berada di meja di dekatnya. Gelas itu pun jatuh ke arah Puput, seekor siput kecil di lantai.
Melihat itu, Cece langsung terbang melesat dan menahan gelas itu di atas tubuhnya agar tidak jatuh menimpa Puput. Pak Momon pun segera mengambil gelas itu dari tubuh Cece.
“Kamu tidak apa-apa, Cece?” tanya Pak Momon.
“Aku tidak apa-apa,” jawab Cece. “Puput, kamu baik-baik saja, kan?”
“Aku tidak terluka sedikit pun,” jawab Puput Siput. “Terima kasih Cece.”
“Kamu hebat bisa terbang secepat itu,” ujar Hana Kupu Kupu.
“Ah, aku bisa terbang secepat itu kan, karena kalian selalu mengejekku lambat,” kata Cece. Mendengar itu, semua yang hadir langsung tertawa.
* * *
Sudah tiga hari berlalu sejak perayaan di rumah Pak Momon. Sudah tiga hari juga Coco terus berdiam diri di rumahnya di atas pohon. Ia tidak mau ikut bermain bersama ketiga saudaranya. Ia juga menolak ketika kupu-kupu kakak beradik Hana dan Hani mengajaknya terbang bersama.
Bu Cicit menyadari bahwa Coco menjadi pendiam akhir-akhir ini. Bu Cicit lalu menghampiri Coco yang sedang bertengger sedih di ranting paling atas.
“Coco, kamu kenapa? Sudah beberapa hari ini Ibu lihat kamu tidak bermain,” kata Bu Cicit.
“Aku sedih, Bu. Caca bisa menyanyi dengan merdu, Cici bisa menari dengan indah, Cece bisa terbang dengan cepat. Sedangkan aku tidak bisa apa-apa. Aku tidak punya bakat yang bagus,” jawab Coco bersedih.
Bu Cicit tersenyum dan mengelus kepala anaknya.
“Sayang, siapa yang bilang kamu tidak punya bakat? Kamu pasti punya bakat, hanya saja kamu belum menemukannya,” ujar Bu Cicit.
“Tapi, kapan, Bu? Aku sedih karena aku tidak bisa membuat Ayah dan Ibu bangga,” kata Coco.
Tiba-tiba, angin berembus kencang dan mendatangkan awan-awan hitam. Langit pun berubah menjadi gelap.
“Coco, ayo kita masuk ke rumah. Sepertinya badai akan datang,” kata Bu Cicit.
Mereka pun segera masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian Pak Cicit dan ketiga anaknya juga masuk ke rumah.
Lalu hujan turun sangat lebat. Angin kencang meniup pohon-pohon, termasuk pohon tempat rumah keluarga Pak Cicit berada.
Rumah yang terbuat dari ranting-ranting pohon pun mulai rusak. Daun dan ranting yang digunakan sebagai atap rumah, terbang tertiup angin kencang.
Pak Cicit dan Bu Cicit langsung merentangkan sayap-sayapnya, menjaga agar ranting-ranting lain yang mengelilingi rumah mereka tidak ikut terbang.
Coco pun ikut merentangkan sayapnya membantu ayah dan ibunya. Sementara Caca, Cici, dan Cece melindungi diri.
Tak lama kemudian, hujan pun reda. Angin tidak lagi berembus kencang. Pak Cicit dan Bu Cicit berhasil mempertahankan ranting-ranting. Meskipun sayap Coco belum selebar Ayah dan Ibunya, namun ternyata ia juga berhasil mempertahankan ranting-ranting.
“Coco, kamu hebat. Kamu berhasil membuat rumah kita tidak terbang tertiup angin,” kata Pak Cicit.
“Itu bakat yang kamu punya, Coco. Kamu memiliki sayap yang kuat,” Bu Cicit menimpali.
“Aku senang. Ternyata aku juga memiliki bakat,” ujar Coco senang.
Setelah itu, mereka memperbaiki rumah mereka dibantu oleh semua penghuni Hutan Alam lainnya.
Cerita oleh: Cirana Merisa
Penglihatan Mulai Buram? Ini 3 Hal yang Bisa Jadi Penyebab Mata Minus pada Anak-Anak
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR