Dahulu kala, hiduplah seekor monster naga mengerikan di wilayah Utara. Monster naga itu melahap banyak sekali manusia dan hewan. Manusia menjadi khawatir kalau isi bumi akan punah dilahap monster itu. Mereka berharap ada bantuan yang datang.
Tubuh monster naga itu bersisik seperti kadal. Sayapnya lebar dan bertulang seperti kelelawar. Ekornya panjang seperti ular. Jika ekornya dihentakkan ke tanah, daerah sekelilingnya akan berguncang seperti ada gempa bumi.
Untungnya, monster ini biasa menghabiskan waktu beberapa tahun di tempat yang sama. Bertahan sampai seluruh isi lingkungannya habis disantap.
Tidak ada yang bisa memburunya, karena seluruh tubuhnya tertutup sisik dan kulit tebal, yang lebih keras dari pada batu atau logam. Dua matanya yang besar bersinar di malam hari, dan bahkan di siang hari, seperti lampu paling terang. Siapa pun yang sempat melihat ke dalam mata itu, akan seperti tersihir dan akan masuk sendiri ke dalam mulut monster itu.
Dengan cara ini, monster naga mampu melahap manusia atau binatang tanpa kesulitan sedikit pun. Ia bahkan tak perlu bergerak dari tempatnya berbaring.
Raja-raja dari berbagai kerajaan telah menawarkan banyak hadiah bagi siapa saja yang bisa mengalahkan monster itu. Begitu juga dengan raja dari kerajaan Veljo. Sayangnya, dari semua pahlawan yang pemberani yang pernah mencoba, tidak ada yang berhasil.
Bahkan ada yang mencoba membakar hutan tempat tinggal monster itu. Hutannya habis terbakar, namun monster naga ini tidak cedera sedikitpun.
Walaupun begitu, ada beberapa orang bijak yang berkata monster itu bisa dikalahkan oleh orang yang memiliki cincin ajaib Raja Salomo. Cincin itu memiliki ukiran tulisan rahasia. Siapa yang bisa mengartikan tulisan itu, pasti jadi tahu cara mengalahkan si monster naga.
Sayangnya, tak ada yang tahu dimana cincin dengan tulisan rahasia itu berada. Untunglah, ada seorang pemuda baik hati dan pemberani di kerajaan Veljo ini. Ia berusaha mencari cincin itu. Pemuda ini bernama Leopold.
Leopold berangkat menuju ke negeri di arah matahari terbit. Ia tahu, semua kebijaksanaan di masa lampau berasal dari Timur. Bertahun-tahun ia berkelana di negeri-negeri Timur.
Suatu ketika, ia bertemu dengan seorang penyihir yang terkenal punya banyak pengetahuan. Namanya Tarkus Yang Bijak. Leopold menceritakan masalah yang dihadapi di negeri Veljo. Tarkus Yang Bijak berkata,
“Manusia yang cuma memiliki sedikit kebijaksanaan, tidak dapat membantumu. Namun burung-burung di udara bisa memberi penjelasan padamu. Itu sebabnya, kau harus belajar bahasa burung. Aku bisa membantumu jika kau mau tinggal bersamaku beberapa hari.”
Leopold sangat gembira menerima tawaran penyihir Tarkus Yang Bijak.
“Aku sekarang tidak dapat menawarkan hadiah atas kebaikan Anda, tetapi andai saya berhasil, saya akan balas kebaikan budi Anda,” janjinya.
Kemudian, orang tua yang pintar itu menggodok ramuan ajaib dari sembilan jenis tumbuhan yang ia kumpulkan sendiri di bawah sinar rembulan. Ia memberikan Leopold sembilan sendok makan ramuan setiap hari, selama tiga hari. Dan pada hari yang ketiga, Leopold tiba-tiba bisa mengerti bahasa burung.
Saat berpisah, Tarkus Yang Bijak berkata kepadanya. “Jika kau menemukan cincin Raja Salomo itu, kembalilah kepada saya, agar saya bisa menjelaskan arti ukiran rahasia di cincin itu. Tidak ada orang lain di dunia ini yang dapat melakukan ini.” Leopold berjanji akan kembali. Ia lalu melanjutkan perjalanannya.
Sejak saat itu, Leopold tidak pernah merasa kesepian di perjalanan. Itu karena ia mengerti bahasa burung. Ia belajar banyak hal yang tak pernah diajarkan oleh manusia.
Waktu pun berlalu… Leopold tidak mendengar kabar apa-apa tentang cincin Raja Salomo. Tak ada burung yang membicarakan cincin itu.
Suatu sore, ia merasa kepanasan dan kelelahan saat berjalan kaki. Leopold duduk beristirahat di bawah pohon di hutan. Ia mengeluarkan makan malamnya sambil melihat dua ekor burung di puncak pohon. Kedua burung itu bercakap-cakap gembira,
“Aku tahu, pemuda yang duduk di bawah pohon itu datang dari tempat yang jauh. Menurut kabar, dia telah mencari cincin Raja Salomo yang hilang. Sayang, ia belum menemukannya!”
Burung yang satunya menjawab,
“Dia harus mencari pertolongan dari gadis penyihir bernama Magia. Gadis itu mungkin tahu siapa yang memiliki cincin itu.”
"Tapi, di mana dia bisa menemukan gadis penyihir itu?" kata burung pertama.
“Magia tidak pernah tinggal menetap. Dia selalu berpindah-pindah, sebentar di sani, sebentar di sana,” jawab burung kedua. “Saya tidak tahu dimana dia sekarang. Tapi saya tahu, setiap bulan purnama di musim semi, Magia selalu mencuci wajahnya. Mungkin supaya wajahnya tidak berkerut dan menjadi tua.”
“Baiklah,” kata burung pertama, “Musim semi sebentar lagi tiba. Apa kita mau melihat bagaimana dia mencuci wajahnya?”
"Tentu saja aku mau,” jawab burung kedua.
Leopold sangat gembira mendengar percakapan itu. Ia segera mengikuti burung-burung itu yang terbang ke sebuah mata air. Ia berusaha untuk tidak tertidur agar bisa terus mengikuti burung-burung itu. Ia sangat lelah karena tak punya sayap untuk terus mengikuti kedua burung itu. Siang malam ia terus berjalan tanpa istirahat.
Akhirnya, pada saat kedua burung itu beristirahat di pohon, Leopold pun beristirahat. Ia tertidur nyenyak karena sangat lelah. Ketika fajar menyingsing, Leopold terbangun dan melihat ke atas pohon. Ia sangat lega saat melihat kedua burung itu pun masih tidur dengan kepala di bawah sayap mereka.
Leopold segera makan dan menunggu kedua burung itu terbang lagi. Namun mereka tidak meninggalkan pohon sepanjang hari. Mereka melompat dari satu pohon ke pohon lain untuk mencari makanan. Ketika malam tiba, mereka kembali ke pohon yang sama untuk tidur lagi.
Keesokan harinya, hal yang sama terjadi. Namun pada pagi ketiga, burung pertama berkata kepada yang lain, “Hari ini, musim semi telah datang. Kita harus melihat Magia membasuh wajahnya.”
Mereka tinggal di pohon sampai siang. Kemudian mereka terbang menjauh menuju ke selatan. Jantung Leopold berdegup kencang saat mengikuti burung-burung itu. Ia terus melihat ke atas, melihat ke arah mana burung-burung itu terbang. Saat hampir kehabisan napas, Leopold melihat burung-burung itu terbang ke arah sebuah tempat terbuka kecil di hutan. Kedua burung itu lalu bertengger di puncak sebuah pohon.
Di tempat itu, Leopold melihat ada kolam mata air yang jernih. la duduk di kaki pohon tempat burung-burung itu bertengger, dan mendengarkan dengan saksama percakapan mereka.
“Itu dia kolam mata air ajaib,” kata burung pertama. “Matahari belum terbenam. Kita harus menunggu sebentar sampai bulan muncul. Magia akan datang ke kolam mata air ajaib itu. Apa menurutmu dia akan melihat pemuda yang duduk di bawah pohon itu?"
"Sudah pasti Magia bisa melihat pemuda itu,” kata burung yang satunya. “Apakah pemuda itu kurang cerdas? Dia menyia-nyiakan jerih payahnya kalau Magia melihatnya!”
“Kita tunggu saja…” kata burung pertama.
Cahaya senja akhirnya semakin pudar. Bulan purnama pun bersinar di atas hutan. Leopold tiba-tiba mendengar bunyi gemeresik kecil.
Beberapa saat kemudian, keluar dari hutan seorang gadis cantik. Ia meluncur di atas rumput dengan sangat ringan hingga kakinya hampir tidak menyentuh tanah. Ia menuju ke kolam mata air ajaib.
Magia memandang ke bulan purnama, lalu berlutut dan membasahi wajahnya sembilan kali dengan air dari kolam mata air. Ia lalu menengadah ke bulan lagi dan berjalan sembilan kali mengelilingi kolam mata air sambil bernyanyi.
“Bulan purnama dengan cahaya berpendar… Buatlah kecantikanku tidak pudar
Walau cahaya purnamamu memudar… Jangan biarkan pipiku tidak segar
Biarlah Magia bagai bunga mekar…”
Lalu ia mengeringkan wajahnya dengan rambut panjangnya, dan hendak pergi. Namun matanya tiba-tiba melihat ke tempat Leopold duduk. Ia berbalik ke arah pohon itu. Leopold bangkit berdiri dan menunggu. Magia berkata,
“Kau harus mendapat hukuman berat karena telah melihat upacara rahasiaku di bawah sinar rembulan!”
Leopold terdiam tak bersuara.
(Bersambung)
Adaptasi cerita oleh: L. Olivia
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR