Di antara dua pohon matahari yang tumbuh tinggi, di sanalah Rara dan Ira biasanya berbagi cerita. Dari tempat duduk itu, ia bisa menikmati indahnya hamparan bukit yang hijau.
Rara dan Ira, namanya sudah mirip, tetapi mereka bukan saudara kandung. Mereka adalah sepasang sahabat sejak usia 4 tahun sampai saat ini. Rara dan Ira suka berbagi cerita bersama, cerita tentang rasa senang dan juga rasa sedih.
Mereka berdua sangat suka bunga matahari, itu mengapa duduk di tempat itu menjadi kesenangan untuk mereka.
“Rara, besok kan hari ulang tahunmu. Kita ketemu disini lagi ya!” kata Ira.
Saat itu Ira ingin memberi hadiah sebuah tas sekolah untuk Rara karena tas sekolahnya sudah rusak dan tidak bisa dipakai lagi. Rara bahkan membawa tas kresek untuk buku-bukunya.
“Pak, semoga Rara senang ya dengan hadiah ini,” kata Ira.
“Pasti senang, apalagi kalau Ira terus memberinya semangat sekolah,” jawab Bapak.
“Iya Pak, Ira akan terus memberi semangat untuk Rara. Walaupun kondisi susah, kita harus tetap sekolah,” jawab Ira.
Ira sangat mengerti perasaan Rara. Ia baru saja ditinggal oleh ibunya meninggal karena kecelakaan. Ayahnya pun tak bisa bekerja sejak kecelakaan itu karena patah tulang kaki yang parah. Hidup Rara mengandalkan Nenek dan Kakek yang bertani.
Malam itu, Ira bersiap-siap untuk tidur. Tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu rumah Ira.
“Pak Bu, gunung akan meletus, kita harus mengungsi. Keadaan sudah berbahaya,” kata orang itu.
Bapak dan Ibu bergegas berkemas-kemas. Memang seminggu belakangan Gunung Agung semakin aktif menunjukkan tanda-tanda akan meletus. Namun, Ira tak sampai berpikir bahwa mereka harus mengungsi.
Ira berdiri dekat pintu kamarnya, masih belum mengerti apa yang harus ia lakukan. “Ra, coba kamu masukkan ke dalam tas, barang-barang penting yang ingin kamu bawa. Kita akan pergi cukup lama,” kata Bapak.
Ia menurut dan masuk kamar. Satu per satu barang ia masukkan ke dalam tas dengan perasaan yang sedih sekali. Ira juga membawa hadiah untuk Rara. Ia yakin akan bertemu Rara lagi.
Malam itu rasanya dikejar-kejar waktu, Setalah merapikan semua barang, Bapak, Ibu, dan Ira langsung masuk mobil.
“Pak, kita akan pergi ke mana?” tanya Ira.
Bapak tak langsung menjawab. Ibu pun sama.
“Yang penting kita turun ke kota dulu, ya, Ra,” jawab Ibu.
Ira menatap nanar, melewati jalanan yang selama ini menemani hidupnya. Sampai di dua pohon bunga matahari, tempatnya dan Rara berbagi cerita.
“Pak, Rara bagaimana Pak? Rara gimana?” tiba-tiba Ira teringat sahabatnya ini.
Ibu memandang lama pada Bapak. Akhirnya Bapak mengarahkan mobil ke rumah Rara. Jalanan yang sempit membuat mereka butuh waktu cukup lama.
Sampai di depan rumah Rara, tak ada satupun orang. Rumah sudah digembok dari luar. Ira hanya menatap sedih pada rumah itu. Tak ada Rara.
“Ayo kita masuk mobil lagi, kulkul (kentongan) sudah berbunyi terus, kita harus segera menjauh,” kata Bapak.
Dengan berat hati, Ira naik ke mobil. Ia tak menyangka akan berpisah dengan sahabatnya seperti ini. Ia tak tahu Rara ke mana. Tak bisa menghubungi juga karena tak satupun keluarga Rara memiliki ponsel.
“Pak, kita akan ke mana?” tanya Ira lagi.
“Kita akan ke rumah Bik Putu di Denpasar,” jawab Bapak.
Hati Ira rasanya sedih sekali. Apakah ia bisa bertemu Rara di Denpasar? Hal yang Ira ingat adalah Denpasar cukup jauh dari tempatnya tinggal saat ini. Namun, Ira masih berharap besok bisa merayakan ulang tahun Rara.
Bersambung…
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR