Dahulu kala di Jepang, hiduplah seorang pemuda yang baik hati, namun tidak terlalu pintar. Ia bernama Magojiro. Sehari-hari, pekerjaannya hanya memotong rumput-rumput liar yang berada di tepi rawa Nushi. Dengan begitu, rawa Nushi jadi tampak rapi dan tidak menyeramkan di malam hari. Warga desa biasanya memberi Magojiro sedikit uang atas pekerjaannya itu.
Suatu hari, pada saat pemuda itu sedang memotong rumput-rumput liar, lewatlah sekelompok orang desa. Mereka mengajak Magojiro berziarah ke Kuil Ise esok hari. Dengan malu dan tidak enak hati, Magojiro berkata,
“Aku ingin sekali pergi, tapi aku tidak punya uang sama sekali...”
Orang-orang desa itu lalu pergi meninggalkan Magojiro dengan rasa iba.
Esok harinya, di pagi yang cerah, Magojiro kembali bekerja seperti biasa. Saat ia memotong rumput liar di tepi rawa Nushi, tiba-tiba seorang wanita cantik keluar dari rawa Nushi itu. Betapa terkejutnya Magojiro.
“Hai, pemuda yang baik hati... Kau telah memotong rumput-rumput liar ini sepanjang hari selama hidupmu. Tahun demi tahun, kau tetap mengerjakan pekerjaan ini dengan tekun. Karena itu, aku ingin memberimu hadiah atas kerja kerasmu selama ini. Adakah sesuatu hal yang bisa kuberikan kepadamu?”
Magojiro mula-mula terdiam bingung. Namun ia lalu menceritakan keinginannya untuk pergi berziarah ke Kuil Ise.
Wanita itu tersenyum, “Baiklah, itu permintaan yang mudah! Aku akan memberikanmu uang supaya kau bisa berziarah bersama warga desa lainnya. Tapi, sebagai imbalan, kau harus menolongku,” kata wanita itu lagi. “Bawalah surat ini ke rawa Taka di dekat dataran kaki gunung Fuji. Saat kau berada di tepi rawa itu, tepuklah tanganmu tiga kali. Maka akan muncul seorang wanita di hadapanmu. Jangan takut, karena wanita itu adalah adikku. Tolong berikan surat ini padanya.” Wanita cantik itu lalu memberikan uang dan sepucuk surat kepada Magojiro.
Magojiro mengambil uang dan surat dari wanita cantik itu. Ia lalu bergegas menyiapkan perbekalan, lalu berlari bergabung dengan warga desa yang sudah siap untuk berangkat. Para warga desa sangat terkejut karena tiba-tiba Magojiro bisa mendapat uang. Namun tentu saja mereka gembira dan mengajak Magojiro berziarah bersama-sama.
Mereka pun berjalan berhari-hari. Akhirnya, mereka tiba di dataran kaki gunung Fuji. Di situ, mereka beristirahat sejenak. Akan tetapi, diam-diam Magojiro meninggalkan rombongannya itu. Ia pergi mencari rawa Taka.
Di tengah jalan setapak, Magojiro bertemu seorang pertapa tua. Pemuda itu menanyakan letak rawa Taka pada pertapa itu. Dengan heran, pertapa tua itu bertanya, “Untuk apa engkau pergi ke rawa Taka, anak muda?”
Magojiro menceritakan pertemuannya dengan wanita dari rawa Nushi. Ia juga bercerita tentang surat yang harus ia antarkan untuk wanita di rawa Tapa. Karena tak bisa membaca, Magojiro memberikan surat itu kepada pertapa tua untuk dibacakan.
Pertapa itu lalu membuka surat itu dan membaca isinya,
“Adikku, setiap hari, pemuda ini datang dan memotong rumput-rumput liar di rawaku. Semakin hari, rumput-rumput liar semakin pendek, sehingga aku semakin sulit untuk bersembunyi dan mencari mangsa manusia. Aku sangat ingin menangkap dan memakan pemuda ini. Tapi bila aku melakukannya, orang-orang desa akan sadar kalau ada siluman rawa yang menghuni rawa Nushi. Mereka bisa berdatangan ke rawa dan menangkapku. Jadi, lebih baik kukirim pemuda ini ke rawamu yang sepi, supaya kau dapat memakannya.”
“Hmm, rupanya wanita ini siluman rawa yang suka memangsa manusia. Sepertinya kita harus merubah isi surat ini,” kata pertapa tua itu. Ia lalu mengambil sehelai kertas, tinta, dan kuas dari tasnya, lalu menulis sehelai surat baru,
“Adikku, setiap hari, pemuda ini datang dan memotong rumput-rumput liar di rawaku. Tentulah pemuda ini sangat baik hati dan harus diberikan suatu penghargaan. Tolong berikan sesuatu padanya. Mungkin, seekor kuda yang bisa mengeluarkan emas sangat tepat untuk diberikan pada orang sebaik dia.”
Pertapa itu memberikan surat baru itu kepada Magojiro, lalu melangkah pergi sambil tersenyum. Magojiro yang tidak terlalu pandai, tidak memerhatikan perkataan pertapa itu. Ia pun melanjutkan perjalanannya menuju rawa Taka.
Beberapa saat kemudian, Magojiro tiba di rawa Taka. Mogojiro menepuk tangannya tiga kali, seperti pesan wanita di rawa Nushi. Tiba-tiba, muncullah seorang gadis cantik di hadapannya. Magojiro lalu memberikan surat kepada gadis itu.
Gadis dari rawa Taka itu membacanya, lalu menatap Magojiro dengan agak curiga. Namun akhirnya ia mengajak Mogojiro masuk ke dalam rawa itu.
“Hmm, maaf, sebaiknya aku langsung pergi saja. Sebab, aku tidak pernah menyelam ke dalam air,” kata Magojiro pada gadis itu.
Gadis itu tersenyum dan berkata, “Tenanglah, jangan takut. Kau naik saja ke punggungku dan pejamkan mata!”
Magojiro menuruti apa yang dikatakan gadis itu. Tak sampai satu menit, gadis itu berkata lagi, “Sekarang, bukalah matamu!”
Begitu Magojiro membuka matanya, ia betul-betul terkejut karena berada di ruangan megah yang penuh dengan benda-bernda indah dan berharga.
Selama tiga hari ia berada di kediaman gadis itu. Apapun makanan lezat yang diinginkan Magojiro, semuanya disediakan. Namun semua itu malah membuat Magojiro merindukan rumahnya sendiri yang sederhana. Ia meminta pada gadis itu untuk mengantarnya kembali ke permukaan danau.
Gadis itu mengikuti kemauan Magojiro. Setelah tiba di permukaan danau, gadis rawa Taka itu memberikan Magojiro seekor kuda, seperti yang tertulis di surat dari kakaknya. Ia juga berpesan, “Jika kau memberikan kuda ini semangkuk nasi setiap hari, maka ia akan mengeluarkan sebongkah emas dari mulutnya.”
Magojiro lalu menunggangi kuda itu dan memacunya menuju tempat ziarah. Dalam beberapa saat saja, ia sudah tiba di Kuil Ise. Ia lalu menunggangi kudanya lagi dan dalam sekejap sudah sampai ke dekat desanya. Ia berhasil menyusul warga desa lainnya yang telah berjalan beberapa hari sebelumnya.
Setiba di rumah, Magojiro mengikat kuda itu di dekat rumahnya. Setiap hari Magojiro memberikan semangkok nasi kepada kudanya itu. Dan seperti yang dikatakan wanita di rawa Taka, setiap kali kuda itu memakan semangkuk nasi, ia mengeluarkan sebongkah emas. Tentu saja dalam waktu yang singkat, Magojiro berhasil menjadi orang yang sangat kaya. Hidupnya tak pernah kekurangan lagi.
Nasib baik Magojiro tersebar sampai ke saudara-saudaranya. Salah satu saudara Magojiro yang serakah, penasaran bagaimana cara Magojiro menjadi kaya. Diam diam, ia pergi ke rumah Magojiro dan melihat seekor kuda cantik yang terikat di belakang rumah.
Karena baru saja makan nasi, kuda itu mengeluarkan bongkahan-bongkahan emas dari mulutnya. Saudara Magojiro terkejut melihatnya. Ia mengambil semangkuk nasi dari tas bekalnya, dan memberikannya pada kuda itu. Seketika, kuda itu kembali mengeluarkan bohongkah emas dari mulutnya.
“Rupanya, inilah rahasia Magojiro!” gumam saudara Magojiro.
Diam-diam, ia melepaskan kuda Magojiro dan membawanya pergi. Sesampai di rumah, saudara Magojiro langsung memberikan sebakul nasi yang sangat besar pada kuda itu. Ia berpikir, kuda itu pasti akan langsung mengeluarkan emas yang sangat banyak.
Kuda itu lalu memakan nasi itu dengan lahap. Namun, setelah menyantap habis semua nasi itu, tiba-tiba tubuh kuda itu bergetar. Ia meringkik sangat keras, hidung dan telinganya mengeluarkan asap. Ia lalu berlari sangat cepat, hingga kakinya tidak menyentuh tanah.
Kuda itu lalu terbang melesat, jauh ke perbatasan daerah Rikuchuu dan Arita. Kuda itu lalu menetap di sana. Oleh sebab itu, tempat itu sampai sekarang dinamakan Gunung Kuda.
Teks: Dok. Majalah Boo
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR