Kisah ini terjadi ketika Sang Elang Tua memerintah menjadi raja hutan yang bijaksana.
Pada suatu hari, seekor serigala bernama Woli datang pada Elang Tua. Ia membungkuk dengan hormat, lalu mengeluh, “Rajaku yang Mulia, aku sangat kelaparan sampai-sampai aku ingin menangis! Tolong berikan aku sedikit makanan.”
“Kenapa aku harus memberimu makanan? Sebagai serigala, kau bisa memburu makanan untuk dirimu sendiri!” kata Elang Tua tegas.
“Tapi aku tidak tahu harus berburu apa. Tolonglah aku, Raja. Berikanlah aku saran. Apa yang harus aku makan...” mohon Woli Serigala.
“Kamu lihat seekor anak kuda di padang rumput itu? Pergi, dan makanlah dia!” perintah Sang Elang Tua.
Woli berterimakasih kepada Sang Elang Tua, lalu berlari ke padang rumput dan mendekati seekor anak kuda yang sedang merumput.
“Anak kuda yang malang, aku akan menelanmu bulat-bulat!”
“Eh... mengapa kau berkata begitu, Pak Serigala?” tanya anak kuda itu ketakutan.
“Raja memerintahkanku untuk memakanmu!”
“Tidak mungkin! Aku ini kuda milik kerajaan. Tidak mungkin dibiarkan menjadi makanan serigala. Lihatlah! Aku mempunyai cap kerajaan pemberian Raja Elang Tua sendiri!” ujar anak kuda.
“Di mana cap itu?” tanya Woli Serigala.
“Di kaki belakangku,” kata si anak kuda.
Woli segera melangkah ke dekat kaki belakang anak kuda. Ia lalu memeriksanya. Ketika wajah Woli mendekat ke kaki kuda, anak kuda itu langsung menendang wajah si serigala. DHUK!
“AAA...” jerit Woli kaget dan kesakitan. Sementara, anak kuda itu telah melarikan diri.
Woli kembali kepada Sang Elang Tua. “Rajaku yang Agung, aku sangat kelaparan, aku benar-benar ingin menangis! Berikanlah sesuatu untuk kumakan. Anak kuda tadi menendang wajahku dan melarikan diri...“
“Mmmm... kalau begitu, lahaplah kambing gunung. Dia pasti ada di atas bukit batu,” perintah Sang Elang Tua.
Woli berterimakasih kepada Elang Tua, lalu segera lari menuju ke bukit batu dan memanjatnya. Di sana, ia bertemu kambing gunung.
“Hei, kambing gunung, aku akan menelanmu hidup-hidup!” teriak Woli.
“Mengapa engkau sangat ingin menelanku?”
“Raja memerintahkanku untuk memakanmu!”
“Kalau itu memang perintah Raja, baiklah, aku akan menurut. Bagian mana yang ingin kau telan lebih dulu? Mulai dari kepala, atau dari ekor?” tanya kambing gunung.
“Aku tidak peduli. Menurutmu, dari mana aku harus mulai?”
“Lebih baik kau memulai dari kepalaku. Sekarang, berdirilah tepat di depanku. Lalu buka mulutmu. Aku akan segera masuk ke dalam mulutmu!” ujar kambing gunung.
Woli lalu berdiri tepat di depan kambing gunung dan membuka mulutnya. Kambing gunung itu mengambil ancang-ancang, lalu berlari dengan sangat kencang ke arah woli. DHUKK! Ia menyeruduk Woli dengan tanduknya. Woli terpental dan jatuh menggelinding dari bukit.
Karena terjatuh dari atas, Woli pingsan. Ketika ia sadar, si kambing gunung sudah berlari jauh. Woli akhirnya kembali menghadap Sang Elang Tua dan mengadu.
“Rajaku yang Mulia, aku sangat sangat kelaparan! Tolong, berikanlah aku sedikit makanan!”
“Tapi, aku sudah mengizinkanmu untuk memakan kambing gunung itu,” ujar Sang Elang Tua.”
“Tapi, kambing gunung itu licik! Ia mendorong aku dengan tanduknya, sampai aku jatuh dari atas bukit!”
“Baiklah! Kalau begitu, telanlah Pak Talor, penjahit yang tinggal di gubuk tepi hutan. Tapi, jangan kembali lagi kepadaku. Kalau kau kembali, aku akan memerintahkan Singa, kepala keamanan hutan ini, untuk memenjarakanmu!”
Woli sekali lagi berterimakasih kepada Sang Elang Tua. Ia pun berlari ke tepi hutan, menemui Pak Talor penjahit di gubuknya.
“Pak Talor, aku akan menelanmu bulat-bulat!” teriak Woli.
“Mengapa kau mau menelanku?” kata Pak Talor penjahit.
“Raja Elang Tua yang memerintahkanku.”
“Baiklah. Kalau begitu, mendekatlah, anjing pudel kecil. Coba telanlah aku!”
“Hey, aku bukan anjing pudel kecil. Aku serigala!” teriak Woli marah.
“Benarkah? Aku tidak tahu kalau kau seekor serigala. Ukuran tubuhmu sangat kecil sebagai seekor serigala. Coba lebih mendekat lagi. Pandanganku rabun. Aku ingin lihat, kau serigala atau anjing pudel kecil!” ujar Pak Talor.
Woli segera melangkah mendekati Pak Talor. Penjahit itu lalu berjalan mengelilingi Woli, dari depan ke belakang.
“Aneh sekali! Kenapa ekormu ada di sini? Tidak cocok samasekali! Biarkan aku mengguntingnya!”
Sebelum Woli sempat bergerak, dengan cepat Pak Talor memotong ekor Woli dengan gunting. CREK! Pak Talor lalu berlari secepatnya masuk ke dalam hutan.
Woli sangat marah dan mulai melolong. Namun, kemana ia harus pergi sekarang? Ia tak berani masuk ke dalam hutan dan bertemu Sang Elang Tua lagi. Bisa-bisa, Singa akan memasukkannya ke dalam penjara hutan.
Woli lalu menemui saudaranya.
“Di mana ekormu, saudaraku?”
“Pak Talor penjahit menipuku dan memotong ekorku.”
Saudara Woli jadi ikut marah. Mereka berdua lalu mengejar Pak Talor ke dalam hutan. Ketika Pak Talor melihat kedua serigala itu, ia berlari, lalu memanjat ke atas pohon. Kedua serigala itu berlari mengejar Pak Talor. Mereka berdiri di bawah pohon tempat Pak Talor sembunyi.
“Turunlah kamu, Pak Talor! Kami akan menelanmu hidup-hidup, karena kamu telah memotong ekor saudaraku!” teriak saudara Woli.
“Tidak, aku tidak akan turun! Kalianlah yang harus naik ke atas bila ingin menangkapku!” teriak Pak Talor.
Kedua serigala itu melompat setinggi-tingginya dan mencoba memanjat pohon itu, namun usaha mereka sia-sia.
“Aku punya ide, saudaraku. Kamu berdirilah di bawah pohon. Kita akan bergantian menaikki punggung satu sama lain, sehingga bisa sampai ke dahan pohon dan menangkap penjahit itu!” kata saudara Woli.
Mereka lalu menjalankan rencana mereka. Saudara Woli mulai menaiki punggung Woli, dan Woli lalu menaiki punggung saudaranya. Ketika mereka sudah mencapai dahan tempat Pak Talor sembunyi, si penjahit itu berseru,
“Mendekatlah padaku, serigala yang lucu. Aku ingin melihat, bagian tubuhmu yang mana yang letaknya kurang pas. Wah, sepertinya telingamu harus dipindahkan ke atas sedikit...” goda Pak Talor.
Mendengar hal itu, Woli merinding ketakutan, karena Pak Talor telah berhasil menghilangkan ekornya. Ia tak tahu kehilangan telinganya sekarang. Maka, Woli langsung melompat menjauh dari Pak Talor. Ia lupa kalau ia sedang menopang saudaranya yang ada di atasnya. Akibatnya, saudara Woli jatuh dari dahan pohon.
Saudara Woli jadi sangat marah pada Woli. Ia langsung mengejar Woli sambil membawa ranting pohon untuk memukul Woli. Pak Talor tertawa terbahak-bahak sendiri. Ia lalu pulang dengan hati lega.
Begitulah nasib Woli, si serigala tanpa ekor. Ia berjalan, dan berjalan tanpa ekor. Ia tidak berani melapor pada Sang Elang Tua, karena ia tidak tahu bagaimana harus menceritakan kejadian itu.
Teks: Dok. Majalah Bobo / Fabel
Source | : | (Dok. Majalah Bobo/Fabel) |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR