Lagi-lagi si Penyihir Tua menjawab, “Kamu tentu tidak bisa menghidupkan Naga Kepala Enam kembali, tapi kamu bisa membalaskan dendamnya! Ubahlah dirimu menjadi air terjun dan sebuah cangkir emas. Pada saat Ivan Banteng meminum air dari air terjun dengan cangkir emas, maka dalam sekejap ia akan terbakar menjadi abu!”
Istri Naga Kepala Sembilan juga ikut mengadu, “Ibu Mertua, Ivan Banteng juga membunuh suamiku, yang juga anakmu.”
Penyihir Tua menjawab sekali lagi, “Kamu juga tidak bisa menghidupkan Naga Kepala Sembilan kembali, tapi, kamu bisa membalaskan dendam suamimu! Ubahlah dirimu menjadi sebuah apel pada pohon apel. Saat Ivan Banteng memetik apel, maka dalam sekejap ia akan terbakar menjadi abu! Anak-anak mantuku, bila semua rencana ini gagal, akulah sendiri yang akan membalaskan dendam ketiga anakku!”
Setelah Ivan Banteng mendengar semua percakapan itu, dengan cepat ia melompat dari atas rumah batu itu. Ia mengendarai kudanya dan menyusul kedua saudaranya.
Ketiga Ivan melanjutkan perjalanannya. Sementara itu, sepanjang perjalanan, Ivan Banteng terus mengingat semua percakapan yang tadi ia dengarkan.
Beberapa waktu kemudian, mereka bertiga sampai di sebuah padang rumput luas. Di tengah padang itu, tampak sebuah kasur besar yang terlihat sangat empuk dan halus. Melihat kasur empuk itu, Pangeran Ivan dan Dayang Ivan menjadi sangat mengantuk dan lelah. Mereka tergoda untuk segera tidur dan beristirahat.
“Ayo, kita istirahat di sini!” teriak Pangeran Ivan dan Dayang Ivan bersamaan.
Melihat kedua saudaranya dalam bahaya, Ivan Banteng sigap melepaskan sarung tangannya, lalu melempar ke atas kasur itu. Dalam sekejap, sarung tangan itu terbakar menjadi abu. Ivan Banteng lalu melempar kasur itu setinggi mungkin ke udara. Karena hanya tipuan sihir, kasur itu pun lenyap di udara.
Pangeran Ivan dan Dayang Ivan sangat terkejut melihat kejadian itu. Ivan Banteng akhirnya menceritakan kepada kedua saudaranya, hal yang didengarnya di rumah batu tadi. Mereka bertiga lalu kembali melanjutkan perjalanan.
Kali ini, perjalanan mereka begitu panjang dan jauh, sehingga mereka mulai lelah dan haus. Pada saat itu, muncullah sebuah air terjun, dengan sebuah cangkir emas di sampingnya. Melihat air terjun yang segar itu, Pangeran Ivan dan Dayang Ivan tergoda untuk membasahi kerongkongan mereka.
“Ayo, kita minum!” kata Pangeran Ivan dan Dayang Ivan Pelayan bersamaan.
Namun, Ivan Banteng kembali melepaskan sarung tangannya, dan melempar ke air terjun itu. Dalam sekejap, sarung tangan itu terbakar menjadi abu. Ivan Banteng lalu menebas air terjun itu dengan pedangnya. Seketika, air terjun yang hanya tipuan sihir itu menghilang. Pangeran Ivan dan Dayang Ivan sadar akan kebodohan mereka. Ketiga Ivan itu lalu melanjutkan perjalanan mereka.
Mereka terus berkuda dan berkuda, sampai akhirnya merasa sangat lapar. Anehnya, tiba-tiba saja muncul sebatang pohon apel berbuah banyak apel merah. Lagi-lagi, Pangeran Ivan dan Dayang Ivan tergoda dan ingin memetika buah apel.
“Ayo, kita makan di sini!” teriak Pangeran Ivan dan Dayang Ivan bersamaan.
Ivan Banteng yang selalu waspada, langsung mengambil sarung tangan cadangannya, melempar ke arah pohon itu. Seketika, sarung tangan Ivan Banteng terbakar menjadi abu. Ivan Banteng lalu menebas pohon itu dengan pedangnya yang tajam. Pohon hasil sihir itu pun lenyap seketika.
Akan tetapi, pada saat itu, ada sesuatu yang terbang melintas di belakang mereka. Ternyata si Penyihir Tua, ibu dari ketiga naga yang dikalahkan Ivan Banteng. Penyihir Tua itu terbang sambil memegang seuah godam besar. Dari matanya keluar lidah-lidah api yang menyambar ke arah ketiga Ivan.
Ketiga Ivan itu memacu kuda mereka sekuat tenaga, sambil menghindari serangan si Penyihir Tua. Mereka terus memacu kuda secepat mungkin, dan sampai di sebuah bengkel. Ternyata, itu bengkel pandai besi bernama Kuzma. Ketika melihat ketiga Ivan itu dalam bahaya, Kuzma segera membuka pintu besi bengkelnya dan membiarkan mereka masuk. Ketiga Ivan itu kini terlindung dari si Penyihir Tua. Betapa marahnya si Penyihir Tua. Ia mencakar dan menggedor-gedor pintu besi dari luar sambil berteriak,
“Kuzma, buka pintunya! Aku akan memeras ketiga Ivan itu, seperti memeras jeruk sampai remuk!”
“Aku akan menyerahkan Ivan Banteng padamu, hanya dengan satu syarat!” teriak Kuzma.
“Apa itu?! Cepat berikan Ivan Benteng!” teriak si Penyihir Tua sambil terus mencakar pintu.
“Cakarlah terus pintu besi itu, sampai kau dapat menembus pintu besi ini dengan tangan dan kukumu. Tunjukan bahwa kau memang sangat sakti seperti berita yang sering aku dengar!” tantang Kuzma.
Karena ingin menunjukkan kekuatannya, Penyihir Tua mulai mencakar pintu besi itu. Bunyinya begitu nyaring memekakkan telinga. Ia terus mencakar, dan mencakar, dan benar saja, pintu besi itu mulai berlubang.
Dengan tawa menggelegar, Penyihir Tua langsung memukul lubang itu dengan godamnya. Namun, pintu besi itu terlalu kuat. Godam Penyihir Tua hanya menyeruak masuk ke dalam lubang buatannya. Dengan marah, Penyihir Tua menarik keluar sekuat tenaga godamnya. Namun, godam itu menancap terlalu dalam. Penyihir Tua terus dan terus menarik.
Itulah saat yang ditunggu-tunggu Ivan Benteng. Tanpa takut, Ivan Banteng keluar dari pintu belakang, dan mengendap-endap menuju pintu depan bengkel Kuzma. Kini ia berada tepat di belakang Penyihir Tua. Ivan Banteng mengambil ancang-ancang, lalu menanduk si Penyihir Tua.
Terdengar teriakan mengerikan si Penyihir Tua. Pelan-pelan, tubuhnya berubah menjadi abu, terbang, dan hilang pelan-pelan tertiup angin.
Itulah kisah hidup Ivan Benteng, pahlawan bagi kedua saudaranya. Walau kedua saudaranya kadang sangat menyebalkan, namun Ivan Banteng tidak pernah meninggalkan mereka, bahkan selalu melindungi mereka.
(Tamat)
Teks: Adaptasi Dongeng Rusia / Dok. Majalah Bobo
Edisi Koleksi Petualangan Pak Janggut Vol. 2 Sudah Bisa Dipesan, Ini Link PO-nya
Source | : | Dok. Majalah Bobo / Folkore |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR