Kerajaan Czardom terletak di tempat yang sangat sulit ditemukan. Untuk mencapai kerajaan itu, harus melewati Laut Merah, Hutan Biru, dan Gunung Kaca. Raja dan permaisuri kerajaan itu memerintah dengan sangat baik. Raja dan permaisurinya ini sangat ingin memiliki putera untuk menjadi pewaris tahta.
Pada suatu hari, ketika Ratu berjalan-jalan di taman istana. Hatinya sangat sedih, karena ia rindu ingin punya anak.
“Aku sangat kesepian…” gumam Ratu sambil menghela napas panjang.
“Yang Mulia Ratu, aku tahu, Yang Mulia Ratu tidak bahagia…” Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang Ratu. Ratu sangat terkejut dan menoleh.
Ternyata, ada seorang nenek berbaju ungu di belakangnya. Nenek itu mendekati Ratu dan berkata, “Tenanglah. Aku bisa mengusir kesedihanmu. Suruhlah pelayanmu untuk menangkap seekor ikan trout bersirip perak di danau. Buatlah sup dari ikan itu. Jika Ratu memakannya, pasti tak lama kemudian akan mengandung, dan melahirkan seorang putera yang istimewa.”
Setelah berkata begitu, Nenek itu berbalik dan pergi begitu saja. Namun baru tiga langkah ia berjalan, tiba-tiba ia menghilang misterius, seperti pada saat ia muncul tadi. Ternyata itu Nenek Sakti.
Setelah kejadian itu, Ratu langsung menyuruh pelayan-pelayannya untuk menangkap ikan trout bersirip perak. Setelah berhasil ditangkap, ikan itu lalu dimasak menjadi sup ikan. Ratu memakan cukup banyak sup ikan. Namun, sisanya ternyata masih cukup banyak. Salah seorang dayang kepercayaan Ratu, memakan sisanya. Dan karena sup itu masih ada sisa juga, dayang itu mencampurnya dengan makanan seekor banteng kesayangan Raja.
Beberapa waktu kemudian, Ratu melahirkan seorang putera yang dinamakan Pangeran Ivan. Dayang kepercayaan Ratu juga melahirkan seorang putera yang dijuluki Ivan Dayang. Sementara, banteng kesayangan Raja juga melahirkan anak banteng ajaib yang dinamakan Ivan Banteng. Wujud Ivan Banteng persis seperti banteng, tetapi ia berbicara dan berjalan seperti manusia.
Ketiga anak ini tumbuh dengan sangat cepat, tidak seperti manusia biasa. Bahkan saat berusia 12 bulan, kekuatan dan tinggi mereka sudah seperti manusia usia remaja.
Pada suatu waktu, ketiga Ivan berencana untuk menjelajahi negeri mereka yang luas. Bahkan, mereka berencana untuk menjelajahi negeri-negeri lain. Mereka lalu pergi ke kandang kuda untuk memilih kuda masing-masing.
Pangeran Ivan dan Dayang Ivan memilih kuda yang gagah dan elok. Namun, Ivan Banteng tidak terlalu beruntung. Ia selalu gagal mendapatkan kuda. Setiap kali ia naik ke atas pelana setiap kuda yang pilihannya, ia selalu jatuh ke tanah.
Ivan akhirnya masuk ke kandang bawah tanah. Di dalam sana, ia menemukan seekor kuda berwarna sepekat gelap malam. Percikan api keluar dari mata kuda itu. Dan kabut terhembus dari lubang hidungnya. Ketika Ivan Banteng naik ke punggung kuda itu, ia tidak terjatuh.
“Inilah kuda pilihanku!” ujar Ivan Banteng sambil mengeluarkan kuda itu dari gudang.
Ketiga Ivan lalu menunggang kuda melintasi tanah lapang yang luas. Mereka tiba di sungai Smorodina yang memiliki jembatan batu.
“Ayo, kita bangun tenda dan bermalam di sini,” kata Ivan Banteng.
Mereka membangun tenda di sebelah kanan jembatan, dan mengundi untuk menentukan siapa yang akan berjaga malam itu. Pada malam itu, Pangeran Ivan lah yang mendapat giliran jaga malam.
Pada malam harinya, Ivan Dayang dan Ivan Banteng tidur di dalam tenda, sementara Pangeran Ivan berjaga di dekat jembatan. Sementara itu, Ivan Banteng ternyata tidak bisa tertidur. Ia sudah mencoba segala cara, namun usahanya sia-sia.
“Lebih baik aku melihat keadaan Pangeran Ivan sekarang,” pikir Ivan Benteng.
Ivan Banteng pun berjalan ke arah jembatan batu. Ia menggeleng kecewa saat melihat Pangeran Ivan sudah tertidur nyenyak. Ia mendengkur sangat keras hingga membuat jembatan batu di dekatnya bergoyang.
Ivan Banteng baru akan membangunkannya, ketika ia melihat ada makhluk yang besar di ujung jembatan. Ternyata itu naga besar berkepala tiga yang menunggang kuda. Semula, kuda itu melangkah gagah. Namun, tiba-tiba kuda itu tertunduk lemas.
“Kenapa kamu lemas, kudaku yang perkasa?” seru Naga Kepala Tiga.
“A… aku sangat takut...” jawab kuda itu terbata-bata.
Naga Kepala Tiga meraung sambil tertawa, “Apa yang kamu takutkan? Hanya satu makhluk di bumi ini yang harus kita takuti! Si Ivan Banteng!”
“Itu aku!” teriak Ivan Benteng menggelegar. Ia langsung menghampiri Naga Kepala Tiga dan menyerang dengan pedangnya. Dalam waktu singkat, Naga Kepala Tiga pun berhasil dikalahkan. Ivan Banteng menyelamatkan kedua saudaranya pada malam itu. Ia membiarkan kuda milik si naga berlari pergi dengan bebas.
Pagi harinya, Ivan Banteng bertanya kepada Pangeran ivan, “Bagaimana keadaan tadi malam?”
“Oh, aman-aman saja,” angguk Pangeran Ivan dengan santai. “Semuanya begitu sunyi, bahkan tidak ada satu helai daun pun yang bergerak.”
Ketiga Ivan kini melanjutkan perjalanannya ke negara besar lainnya. Mereka berkuda dan terus berkuda. Saat sore hari, mereka kembali ke kemah mereka di dekat jembatan batu. Sekarang, giliran Ivan Dayang yang berjaga malam.
Lagi-lagi, malam itu, Ivan Banteng tidak bisa tertidur. Akhirnya, ia pun keluar untuk melihat bagaimana keadaan Ivan Pelayan. Ivan Banteng kecewa ketika melihat Ivan Dayang tertidur nyenyak. Ia mendengkur sangat keras hingga membuat jembatan batu bergoyang.
Ivan Banteng baru akan membangunkannya, ketika ia melihat ada makhluk yang besar di ujung jembatan. Ternyata itu naga besar berkepala enam yang menunggang kuda. Semula, kuda itu melangkah gagah. Namun, tiba-tiba kuda itu tertunduk lemas.
“Kenapa kamu lemas, kudaku yang perkasa?” seru Naga Kepala Enam.
“A… aku sangat takut...” jawab kuda itu terbata-bata.
Naga Kepala Enam meraung sambil tertawa, “Apa yang kamu takutkan? Hanya satu makhluk di bumi ini yang harus kita takuti! Si Ivan Banteng!”
“Itu aku!” teriak Ivan Benteng menggelegar. Ia langsung menghampiri Naga Kepala Enam dan menyerang dengan pedangnya. Dalam waktu singkat, Naga Kepala Enam pun berhasil dikalahkan. Pada malam kedua itu, Ivan Banteng menyelamatkan kedua saudaranya untuk kedua kalinya. Ia membiarkan kuda milik si naga berlari pergi dengan bebas.
Pagi harinya, Ivan Banteng bertanya kepada Ivan Dayang, “Apakah kau menikmati suasana tadi malam?”
“Oo, tentu saja,” angguk Ivan Dayang dengan santai. “Semuanya begitu sunyi, bahkan rumput-rumputpun tidak ada yang bergesekan.”
Begitulah… Pada hari yang ketiga, ketiga Ivan berkuda di padang rumput yang sangat luas. Namun sore tiba, mereka kembali ke kemah mereka.
Kali ini, giliran Ivan Banteng yang berjaga. Namun sebelum pergi ke dekat jembatan, ia berpesan kepada saudara-saudaranya.
“Malam ini, giliran aku yang berjaga. Tapi, kalian juga tidak boleh tertidur! Jika kudaku mulai menghentak-hentakan kakinya, segera lepaskan dia!” pesannya sekali lagi.
Ivan Banteng pun berjalan ke jembatan batu, dan menunggu.
Tepat tengah malam, ia melihat dari ujung jembatan, sesosok naga yang sangat besar dan menyeramkan. Naga itu berkepala sembilan dan menunggangi kudanya. Naga Kepala Sembilan tampak sangat percaya diri, tetapi kudanya tampak lemas dan takut.
“Kenapa kau terlihat takut, kudaku? Kau tidak boleh takut pada apapun!”
Kuda itu menjawab, “Tapi… aku sangat ketakutan. Aku takut pada Ivan Banteng.”
Naga Kepala Sembilan tertawa sambil meraung. “Kamu tidak perlu takut pada Ivan Benteng. Aku akan membuat dia jatuh terduduk dengan tangan kananku! Dan tangan kiriku akan meremas tubuhnya seperti lalat!”
“Coba lawan aku!” teriak Ivan Benteng.
Sambil menarik pedangnya, ia berusaha mengalahkan Naga Kepala Sembilan. Namun ternyata naga itu sangat kuat. Dari kesembilan kepalanya, keluar lidah-lidah api. Pertarungan berlangsung sengit. Sabetan-sabetan pedang Ivan Banteng tak bisa mengalahkan naga itu.
Di saat yang sama, kuda milik Ivan Banteng yang terikat di pohon dekat kemah, mulai gelisah. Ia menghentak-hentakan kakinya dengan liar. Bunyi hentakannya sangat kuat, sehingga air sungai mulai meluap dan jembatan batu ikut bergoncang. Namun, Pangeran Ivan dan Dayang Ivan tetap tertidur pulas. Mereka tidak melepaskan kuda milik Ivan Banteng seperti pesannya tadi.
Naga Kepala Sembilan melihat Ivan Banteng mulai kewalahan. Ia pun menyerang Ivan Banteng dengan lebih ganas, dan menghempaskannya ke tanah. Ivan Banteng secepat kilat melepasksn sepatunya, melemparkan ke arah tali ikatan kudanya. Seketika, kuda Ivan Banteng terlepas.
Dengan cepat, kuda Ivan Banteng ikut menyerang Naga Kepala Sembilan. Di saat naga itu bergulat untuk mengalahkan kuda Ivan Benteng, Ivan Banteng melesat secepat kilat menyerang naga itu dengan pedangnya. Naga Kepala Sembilan itu pun kalah. Ivan Banteng yang kelelahan, kembali ke dalam tenda dan jatuh tertidur.
Di pagi harinya, Ivan Banteng bertanya kepada kedua saudaranya, “Kenapa kalian tidak melepaskan kudaku? Padahal, dia sudah menghentakan kakinya sangat kencang tadi malam.”
Mendengar perkataan Ivan Benteng, mereka berdua sangat terkejut.
“Kami tidak mendengar apapun tadi malam. Malam itu benar-benar sunyi. Kami bahkan tidak mendengar sehelai daun pun jatuh,” kata mereka.
Ivan Banteng lalu mengajak kedua saudaranya ke jembatan batu. Ia lalu menunjuk ke tiga ekor naga yang tergeletak di sana. Naga Kepala Tiga, Naga Kepala Enam, dan Naga Kepala Sembilan. Ia pun menceritakan semua yang sudah terjadi. Pangeran Ivan dan Dayang Ivan sangat takjub dan berterimakasih pada Ivan Banteng.
Setelah kejadian itu, mereka pun melanjutkan perjalanan kembali. Mereka berkuda, dan terus berkuda, hingga tiba di sebuah rumah kayu yang sangat besar.
Mereka mengetuk sebuah papan kayu oak yang ada dinding rumah yang tampak aneh itu. Rumah itu tidak memiliki pintu dan jendela. Semuanya terdiri dari sususan batu dari bawah sampai ke atap rumah.
“Kalian lanjutkan saja perjalanan, aku akan melihat sekeliling rumah ini,” kata Ivan Benteng.
Kedua saudaranya akhirnya melanjutkan perjalanan. Sementara Ivan Banteng memanjat rumah itu melalui batu-batu yang sudah tersusun. Ketika tiba di atap, ia mengintip ke dalam rumah lewat cerobong asap.
Ternyata, itu adalah rumah dari ketiga naga yang sudah ia kalahkan. Di dalam rumah, tampak ketiga istri dari naga-naga mengerikan itu. Dengan hati-hati, Ivan Banteng mendengar percakapan mereka. Ketiga istri naga itu ternyata sedang mengadu kepada seorang penyihir tua. Dan penyihir tua itu ternyata adalah ibu dari ketiga naga itu.
Istri Naga Kepala Tiga berkata, “Ibu Mertua, Ivan Banteng sudah membunuh suamiku, yang juga anakmu.”
Penyihir Tua itu menjawab, “Kamu tidak bisa menghidupkan suamimu lagi. Tapi, kau bisa membalas perbuatan Ivan Banteng. Di tengah tanah lapang yang luas, ubahlah dirimu menjadi sebuah kasur bulu yang lembut. Pada saat Ivan Banteng menghempaskan tubuhnya, dalam sekejap ia akan terbakar menjadi abu!”
Istri Naga Kepala Enam lalu berkata, “Ibu Mertua, Ivan Banteng juga sudah membunuh suamiku, yang juga anakmu.”
Lagi-lagi si Penyihir Tua menjawab, “Kamu tentu tidak bisa menghidupkan Naga Kepala Enam kembali, tapi kamu bisa membalaskan dendamnya! Ubahlah dirimu menjadi air terjun dan sebuah cangkir emas. Pada saat Ivan Banteng meminum air dari air terjun dengan cangkir emas, maka dalam sekejap ia akan terbakar menjadi abu!”
Istri Naga Kepala Sembilan juga ikut mengadu, “Ibu Mertua, Ivan Banteng juga membunuh suamiku, yang juga anakmu.”
Penyihir Tua menjawab sekali lagi, “Kamu juga tidak bisa menghidupkan Naga Kepala Sembilan kembali, tapi, kamu bisa membalaskan dendam suamimu! Ubahlah dirimu menjadi sebuah apel pada pohon apel. Saat Ivan Banteng memetik apel, maka dalam sekejap ia akan terbakar menjadi abu! Anak-anak mantuku, bila semua rencana ini gagal, akulah sendiri yang akan membalaskan dendam ketiga anakku!”
Setelah Ivan Banteng mendengar semua percakapan itu, dengan cepat ia melompat dari atas rumah batu itu. Ia mengendarai kudanya dan menyusul kedua saudaranya.
Ketiga Ivan melanjutkan perjalanannya. Sementara itu, sepanjang perjalanan, Ivan Banteng terus mengingat semua percakapan yang tadi ia dengarkan.
Beberapa waktu kemudian, mereka bertiga sampai di sebuah padang rumput luas. Di tengah padang itu, tampak sebuah kasur besar yang terlihat sangat empuk dan halus. Melihat kasur empuk itu, Pangeran Ivan dan Dayang Ivan menjadi sangat mengantuk dan lelah. Mereka tergoda untuk segera tidur dan beristirahat.
“Ayo, kita istirahat di sini!” teriak Pangeran Ivan dan Dayang Ivan bersamaan.
Melihat kedua saudaranya dalam bahaya, Ivan Banteng sigap melepaskan sarung tangannya, lalu melempar ke atas kasur itu. Dalam sekejap, sarung tangan itu terbakar menjadi abu. Ivan Banteng lalu melempar kasur itu setinggi mungkin ke udara. Karena hanya tipuan sihir, kasur itu pun lenyap di udara.
Pangeran Ivan dan Dayang Ivan sangat terkejut melihat kejadian itu. Ivan Banteng akhirnya menceritakan kepada kedua saudaranya, hal yang didengarnya di rumah batu tadi. Mereka bertiga lalu kembali melanjutkan perjalanan.
Kali ini, perjalanan mereka begitu panjang dan jauh, sehingga mereka mulai lelah dan haus. Pada saat itu, muncullah sebuah air terjun, dengan sebuah cangkir emas di sampingnya. Melihat air terjun yang segar itu, Pangeran Ivan dan Dayang Ivan tergoda untuk membasahi kerongkongan mereka.
“Ayo, kita minum!” kata Pangeran Ivan dan Dayang Ivan Pelayan bersamaan.
Namun, Ivan Banteng kembali melepaskan sarung tangannya, dan melempar ke air terjun itu. Dalam sekejap, sarung tangan itu terbakar menjadi abu. Ivan Banteng lalu menebas air terjun itu dengan pedangnya. Seketika, air terjun yang hanya tipuan sihir itu menghilang. Pangeran Ivan dan Dayang Ivan sadar akan kebodohan mereka. Ketiga Ivan itu lalu melanjutkan perjalanan mereka.
Mereka terus berkuda dan berkuda, sampai akhirnya merasa sangat lapar. Anehnya, tiba-tiba saja muncul sebatang pohon apel berbuah banyak apel merah. Lagi-lagi, Pangeran Ivan dan Dayang Ivan tergoda dan ingin memetika buah apel.
“Ayo, kita makan di sini!” teriak Pangeran Ivan dan Dayang Ivan bersamaan.
Ivan Banteng yang selalu waspada, langsung mengambil sarung tangan cadangannya, melempar ke arah pohon itu. Seketika, sarung tangan Ivan Banteng terbakar menjadi abu. Ivan Banteng lalu menebas pohon itu dengan pedangnya yang tajam. Pohon hasil sihir itu pun lenyap seketika.
Akan tetapi, pada saat itu, ada sesuatu yang terbang melintas di belakang mereka. Ternyata si Penyihir Tua, ibu dari ketiga naga yang dikalahkan Ivan Banteng. Penyihir Tua itu terbang sambil memegang seuah godam besar. Dari matanya keluar lidah-lidah api yang menyambar ke arah ketiga Ivan.
Ketiga Ivan itu memacu kuda mereka sekuat tenaga, sambil menghindari serangan si Penyihir Tua. Mereka terus memacu kuda secepat mungkin, dan sampai di sebuah bengkel. Ternyata, itu bengkel pandai besi bernama Kuzma. Ketika melihat ketiga Ivan itu dalam bahaya, Kuzma segera membuka pintu besi bengkelnya dan membiarkan mereka masuk. Ketiga Ivan itu kini terlindung dari si Penyihir Tua. Betapa marahnya si Penyihir Tua. Ia mencakar dan menggedor-gedor pintu besi dari luar sambil berteriak,
“Kuzma, buka pintunya! Aku akan memeras ketiga Ivan itu, seperti memeras jeruk sampai remuk!”
“Aku akan menyerahkan Ivan Banteng padamu, hanya dengan satu syarat!” teriak Kuzma.
“Apa itu?! Cepat berikan Ivan Benteng!” teriak si Penyihir Tua sambil terus mencakar pintu.
“Cakarlah terus pintu besi itu, sampai kau dapat menembus pintu besi ini dengan tangan dan kukumu. Tunjukan bahwa kau memang sangat sakti seperti berita yang sering aku dengar!” tantang Kuzma.
Karena ingin menunjukkan kekuatannya, Penyihir Tua mulai mencakar pintu besi itu. Bunyinya begitu nyaring memekakkan telinga. Ia terus mencakar, dan mencakar, dan benar saja, pintu besi itu mulai berlubang.
Dengan tawa menggelegar, Penyihir Tua langsung memukul lubang itu dengan godamnya. Namun, pintu besi itu terlalu kuat. Godam Penyihir Tua hanya menyeruak masuk ke dalam lubang buatannya. Dengan marah, Penyihir Tua menarik keluar sekuat tenaga godamnya. Namun, godam itu menancap terlalu dalam. Penyihir Tua terus dan terus menarik.
Itulah saat yang ditunggu-tunggu Ivan Benteng. Tanpa takut, Ivan Banteng keluar dari pintu belakang, dan mengendap-endap menuju pintu depan bengkel Kuzma. Kini ia berada tepat di belakang Penyihir Tua. Ivan Banteng mengambil ancang-ancang, lalu menanduk si Penyihir Tua.
Terdengar teriakan mengerikan si Penyihir Tua. Pelan-pelan, tubuhnya berubah menjadi abu, terbang, dan hilang pelan-pelan tertiup angin.
Itulah kisah hidup Ivan Benteng, pahlawan bagi kedua saudaranya. Walau kedua saudaranya kadang sangat menyebalkan, namun Ivan Banteng tidak pernah meninggalkan mereka, bahkan selalu melindungi mereka.
(Tamat)
Teks: Adaptasi Dongeng Rusia / Dok. Majalah Bobo
Tomat-Tomat yang Sudah Dibeli Bobo dan Coreng Hilang! Simak Keseruannya di KiGaBo Episode 7
Source | : | Dok. Majalah Bobo / Folkore |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR