Sementara itu, anak pertama dan anak kedua tak mau membuang waktu. Di saat si raksasa sibuk membebaskan kepalanya, mereka melepas ikatan di tangan adik bungsu mereka. Mereka bertiga lalu berlari secepatnya keluar dari rumah itu.
Ketika sudah berada di atas bukit, cukup jauh dari rumah, mereka menengok ke arah bawah. Tampak rumah mereka sudah hancur. Dari dalam timbunannya, raksasa tua itu menyeruak keluar, dan berteriak marah. Suaranya menggelegar sampai pohon-pohon tertiup miring, burung-burung berterbangan. Dengan cepat, raksasa itu melompat melewati setengah hutan yang sangat luas.
Ketiga anak itu berlari, berlari, dan terus berlari, hingga mereka tiba di sebuah ladang gandum, di tepi danau. Ketiga anak itu menangis putus asa, sementara bunyi derap kaki raksasa semakin jelas terdengar. Raksasa itu sudah semakin dekat. Ketiga anak itu lalu melihat sekeliling. Mereka melihat sebatang pohon di tepi danau. Pohon itu tinggi menjulang ke langit. Mereka langsung memanjat pohon itu.
Dalam sekali lompatan, raksasa tua itu akhirnya tiba di tepi danau itu juga. Suasana begitu sunyi. Ia melihat ke sekeliling, hendak mencari ketiga anak itu. Namun karena merasa haus, ia menunduk untuk mengambil air danau dulu.
Akan tetapi, tiba-tiba raksasa itu terdiam. Ia melihat sesuatu dari pantulan di permukaan air danau. Ia melihat ketiga anak itu di permukaan air danau. Raksasa tua itu tertawa penuh kemenangan dengan suara menggelegar. Ia melompat dan menerjang ke arah air danau itu. Namun ia tidak berhasil menangkap apa pun. Raksasa itu sangat marah. Ia melihat dari arah mana pantulan itu berasal. Akhirnya ia menemukan ketiga anak itu berada di atas pohon di tepi danau. Raksasa itu pun mulai memanjat pohon itu.
Ketika tahu raksasa itu mulai memanjat pohon, ketiga anak itu meneruskan memanjat pohon. Pohon itu sangat tinggi, namun ketiga anak itu terus dan terus memanjat. Tanpa sadar, mereka bertiga sudah sampai di puncak tertinggi pohon itu. Namun, raksasa itu terus memanjat mengejar mereka.
Anak pertama lalu berteriak sambil menangis, “Dewa Langit, turunkanlah tali dari langit, supaya aku dan kedua adikku bisa lolos dari raksasa jahat itu!”
Sekejap, terbukalah tingkap langit, dan turunlah seutas rantai emas dari langit. Ketiga anak itu lalu memanjati rantai emas itu.
Raksasa itu melihat anak-anak itu meloloskan diri dengan rantai emas pemberian Dewa. Maka raksasa itu pun berteriak juga, “Dewa Langit, berikanlah aku seutas tali untuk mengejar mereka!”
Sekali lagi terbukalah tingkap langit, dan turunlah seutas tali. Raksasa itu pun memanjat, dan memanjat hingga sangat tinggi.
Ketika raksasa itu sudah memanjat sangat tinggi, tiba-tiba terputuslah tali pemberian Dewa Langit. Raksasa jahat itu jatuh menukik ke bumi. BHUMMM!
Bumi bergetar dan raksasa jahat itu mati. Tubuhnya yang merah lalu menyatu dengan tanah di ladang gandum. Oleh sebab itu, akar gandum berwarna merah hingga sekarang.
Ketiga kakak beradik tadi, kini bisa turun dengan aman. Dewa Langit memberikan rantai emas tadi untuk mereka. Mereka berterimakasih pada Dewa Langit, lalu buru-buru pulang ke rumah mereka yang hancur. Di sana, tampak ibu mereka sedang menangis sedih karena mengira anaknya sudah dimakan raksasa.
Betapa gembiranya si Ibu saat melihat ketiga anaknya selamat. Mereka berpelukan bahagia. Sang Ibu berjanji, tak akan meninggalkan ketiga anaknya lagi dalam waktu lama. Ketiga anaknya pun berjanji akan patuh pada pesan ibunya.
Mereka lalu membeli sebuah rumah baru dari hasil menjual rantai emas pemberian Dewa Langit.
Teks: Adaptasi Dongeng Eropa / Dok. Majalah Bobo
Source | : | Dok. Majalah Bobo / Folkore |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR