Aku memerhatikan tangan Kakek yang terus menggerakkan pangot. Tangan Kakek masih terampil membuat guratan-guratan kecil di atas kayu. Topeng barong yang dibuatnya terlihat unik. Aku duduk di hadapan Kakek.
“Belum selesai, Kek?”
Kakek tersenyum.
“Dulu, sebuah barong bisa Kakek selesaikan dua minggu. Sekarang tangan Kakek gemetar. Bisa dua bulan selesainya. Makanya, belajarlah mengukir, supaya bisa menggantikan Kakek.” Lalu, Kakek terkekeh.
Kakek sudah berumur 70 tahun. Artinya, sudah 50 tahun Kakek menjadi seorang pengukir topeng barong. Dulu, Kakek belajar mengukir dari Kakek buyut.
“Bagaimana? Mau, kan, belajar mengukir?”
“Susah, Kek,” sahutku.
“Belum mencoba, kok, bilang susah,” komentar Kakek. “Kalau sudah pegang pangot, tidak akan bilang susah lagi.”
“Yance!” Sebuah panggilan membuatku menoleh ke belakang. Rupanya, Made, teman sekelasku. Kami janjian untuk menonton pertunjukan Tari Barong pagi ini. Setiap pagi selalu ada pertunjukan Tari Barong di desa kami. Kebetulan, hari ini sekolah libur karena guru-guru sedang mengikuti pelatihan. Aku minta izin Kakek, lalu lari menuju Made.
Karena sering menonton Tari Barong, aku dan Made kenal dengan semua penari dan pemain gamelan. Tetapi, aku tak pernah bosan. Aku ingin belajar menari barong. Suatu hari nanti, mungkin aku yang menari di depan, tak hanya menjadi penonton.
“Yuk, pulang!” ajak Made ketika tarian selesai.
Melewati bale bengong di depan rumah, sepi. Kakek tidak ada. Tetapi, ukiran dan peralatannya belum dibereskan. Aku mengambil barong setengah jadi yang tergeletak di lantai. Aku jadi ingat kata-kata Kakek, kalau sudah pegang pangot, tidak akan susah lagi untuk mengukir.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR