“Pertunjukan Barong hanya sampai siang. Kakek mau mengajarimu mengukir.” Aku lega. Kakek sama sekali tidak menyinggung topengnya yang rusak. Kakek malah bercerita tentang masa mudanya ketika sering menari barong.
Malam itu aku tak bisa tidur. Topeng barong Kakek terus memenuhi pikiranku. Masa, sih, Kakek tidak tahu kalau ada yang rusak di topengnya? Tetapi, kalau Kakek tahu, kenapa tidak menanyakannya? Atau, Kakek tahu tetapi pura-pura tidak tahu? Aaah, rasanya ingin berteriak! Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus melakukan sesuatu.
Sepulang sekolah aku menghampiri Kakek di bale bengong. Kakek masih mengukir topeng barong yang kemarin.“Kek, aku kepingin belajar mengukir.” Kakek diam saja.
“Kek! Kakek marah?” Kakek menghentikan pekerjaannya, lalu menatapku.
“Kenapa harus marah?” Aku menelan ludah, sebelum akhirnya menjawab.
“Maaf, Kek. Kemarin aku merusakkan topeng itu.” Kakek tertawa. Aku mengembuskan napas lega. Berarti, Kakek tidak marah.
“Kakek tahu?”
“Ya.”
“Kenapa tidak menegurku?”
“Wayan! Kamu pikir, kenapa Kakek mau mengajarimu mengukir? Supaya tidak merusak ukiran Kakek lagi. Yang paling penting, Kakek mau mengajarimu sopan santun. Kamu teruskan pekerjaan Kakek tanpa izin, namanya tidak sopan. Untung topeng barong ini hanya untuk menari biasa, bukan untuk upacara.”
Ya, mungkin kalau topeng barong itu untuk upacara, bukan hanya Kakek yang marah. Para Dewa juga akan marah. Untuk membuat topeng upacara, kayunya saja istimewa, yaitu kayu pule yang punya kekuatan magis. Pembuatannya tidak boleh sembarangan.
“Kamu jujur. Itu salah satu modal utama untuk menjadi pengukir topeng barong yang sempurna,” kata Kakek.
Selanjutnya? Aku mulai trampil memainkan pangotku di atas kayu. Benar kata Kakek, kalau sudah memegang pangot, tak akan bilang susah untuk mengukir.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Veronica Widyastuti.
Jangan Sampai Salah, Ini Ciri Keju yang Masih Aman di Makan dan yang Harus Dihindari
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR