Aku mengamati topeng itu. Hmm, mata yang kanan terlalu besar. Rasanya, aku bisa mengecilkannya. Meskipun belum jago, kalau sekadar memegang pangot, aku bisa. Aku mengamati hasil ukiranku. Wah, sepertinya, aku bisa meneruskan pekerjaan Kakek.
Ups! Tanpa sengaja, ujung pangot sedikit meleset. Bagian bawah telinga barong patah!
Jantungku langsung berdebar kencang. Tanganku gemetar. Aku memandang sekeliling. Sepi. Kuletakkan barong dan pangot. Kurapikan Supaya posisinya sama seperti sebelum aku datang. Aku berjalan tergesa-gesa ke rumah Made, lalu menghabiskan waktu sesorean di sana.
“Yance!” tegur Made. Aku tersentak.
“Kamu kenapa, sih? Dari tadi melamun terus!”
“Ngantuk!” sahutku sekenanya. Padahal, aku terbayang-bayang topeng barong Kakek. “Eh, sudah sore. Aku pulang saja.”
Kakek masih asyik mengukir barong di bale bengong. Aku memilih jalan memutar untuk menghindar. Ibu kaget melihatku muncul dari pintu belakang. “Dari mana? Kakek mencarimu.”
Deg! Jangan-jangan, Kakek tahu. Aku jadi tidak enak. Tetapi, aku juga tidak berani berterus terang.
“Nonton Barong, lalu main di rumah Made.”
Untung, Ibu tak bertanya lebih lanjut. Aman. Tetapi, aku tak berkutik ketika malamnya bertemu Kakek di ruang keluarga.
“Ke mana saja kamu?”
“Mmm … tadi, kan, ... nggg … nonton barong sama Made. Kenapa, Kek?”
Menuju Dua Dekade, National Geographic Indonesia Gelar Pameran Foto Sudut Pandang Baru Peluang Bumi
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR