Alat musik sudah siap. Ari bersiap untuk mengendap-endap lagi keluar dari sekolah musik untuk bertemu Rudi. Ia melihat ke arah parkiran dan mendapati Pak Pur, supirnya, sedang tidur.
Ari berjalan cepat menuju tikungan di depan toko tua, tempat Rudi mengamen. Tak lupa ia menggunakan topi untuk menutupi wajahnya jika tiba-tiba Bibi, Ibu, atau orang yang dikenalnya lewat.
“Ari, ngapain kamu?” tanya Rudi kaget melihat Ari kembali datang.
“Kalau aku tidak boleh memberi uang untuk ganti gitarmu yang rusak, aku akan bantu kamu cari uang,” kata Ari. “Aku juga bisa bernyanyi dan main gitar kok,” kata Ari sambil tersenyum.
“Awas kamu dimarah orang tua kamu. Anak orang kaya kok ngamen,” kata Rudi.
Ari tak peduli dengan kata-kata Rudi. Ia bersiap memainkan gitar dan mulai mengamen.
Jreng jreng jreng
Ari dan Rudi bernyanyi sambil bermain alat musik. Ari bermain gitar dan rudi bernyanyi, kadang juga sebaliknya. Banyak pejalan kaki yang senang mendengar nyanyian keduanya. Nyanyian yang merdu dengan petikan gitar yang pas.
Satu per satu lembaran uang masuk ke dalam kaleng. Bahkan ada yang memberi Rp 20.000. Hari itu Rudi mendapat uang lebih banyak dari biasanya.
“Waaah, keren keren. Dua ratus ribu! Tumben dapat sebanyak ini,” kata Rudi bahagia.
Ari senang melihat Rudi bahagia. Namun, ia tahu bahwa uang itu belum cukup untuk membeli gitar. Ia pun memutuskan untuk membantu Rudi mengamen untuk beberapa hari lagi.
“Kamu beneran tidak apa-apa ngamen denganku?” tanya Rudi.
“Tidak apa-apa lah Rud. Lagi pula sudah pulang sekolah,” jawab Ari menyembunyikan tindakan bolosnya.
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR