Pagi-pagi, bangun tidur Tika langsung merapikan sprei kasurnya. Ayah yang berniat membangunkannya terheran-heran di pintu kamar. “Tumben, bangun sendiri. Gitu, dong, anak perempuan Ayah harus rajin,” ayah mengacungkan dua jempol. Tika tersipu malu.
“Kapan Ibu pulang, Yah?” tanya Tika.
“Nanti siang. Kalau kamu mau, nanti kita jemput Ibu bareng-bareng. Pulang sekolah kita langsung ke rumah sakit. Gimana?” ayah balik bertanya. Tika gantian mengacungkan dua jempol. Mereka berdua tertawa.
*
Siang itu, sambil menunggu ayah datang, Tika tampak sibuk. Ia memasukkan setangkai mawar warna marun kesukaan Ibu ke dalam vas kecil yang diisi air. Sepulang sekolah tadi, Tika sengaja mampir ke rumah Rani yang tinggal di sebelah rumah, untuk meminta mawar itu.
Di sebelah vas, Tika juga menyiapkan kertas berisi permintaan maaf pada Ibu. Tak lupa, potongan mangga harum manis favorit Ibu sudah disiapkan Tika di dalam kulkas, tinggal dikeluarkan ketika Ibu datang.
Rumah juga sudah rapi. Lantai sudah bersih dan kinclong. Tika bersikeras meminta Mbak Par membiarkannya menyapu dan mengepel. Tika ingin membuat hati ibu senang. Ia juga tak sabar ingin segera bertemu Ibu. Pandangannya menyapu sekeliling ruangan dengan tatapan puas. Semoga ibu suka, pikirnya.
“Waaah…bersih sekali rumah kita. Terima kasih, ya, Nak, sudah bersih-bersih rumah,” tahu-tahu terdengar suara dari belakang Tika. Ia menoleh kaget. Tampak ibu sedang tersenyum lebar ke arahnya. Di sebelahnya, ayah membawa tas berisi perlengkapan ibu selama di rumah sakit.
“Maaf Tika, Ayah enggak jadi jemput kamu. Ayah harus buru-buru berangkat ke kantor lagi,” ujar Ayah mengungkapkan alasan.
Seolah tak mendengar ucapan ayahnya, Tika langsung menghambur ke pelukan Ibu. Rasa rindu dan perasaan bersalah pada Ibu yang sudah membuncah membuatnya menangis sesenggukan.
“Maafkan Tika selama ini, Bu. Tika janji akan mengubah sikap jadi lebih baik,” ujarnya di sela-sela tangis. Ibu mengiyakan sambil mengusap pipi Tika dan mencium keningnya, seperti biasa. Ah, betapa Tika sudah merindukan tangan ibu. Air matanya makin deras mengalir.
“Wah, senang, deh, anak Ibu ternyata sekarang sudah besar,” ledek Ibu. Tika tertawa malu sambil mengusap air mata. Dalam hati ia berjanji akan membantu ibu setiap hari dan tak gampang ngambek lagi.
*
Penulis | : | Lila |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR