Tika menutup pintu pagar rumahnya dengan buru-buru. Ia sudah tak sabar ingin segera memberitahu ibunya nilai ulangan matematika yang dibagikan gurunya hari itu. Tika sangat bersemangat karena baru kali ini ia mendapatkan nilai 90, setelah belajar semalaman bersama ibu. Tepatnya, setelah Ibu bolak-balik menyuruhnya belajar mengerjakan soal latihan malam itu.
“Ibuuu…lihat, nih!” teriak Tika setelah masuk ke dalam rumah. Ia segera menghambur ke dapur, tempat Ibu biasa ia temukan saat ia pulang sekolah.
Tika tertegun tak menemukan ibunya di sana. Yang ada malah Mbak Par, tetangga belakang rumah yang biasa membantu Ibu kalau ada arisan atau pengajian di rumah.
Tanpa sempat bertanya, Tika segera lari ke kamar ibunya. Barangkali ibu sedang tidur, pikir Tika. Namun, Ibu tak ada di kamar. Penasaran, Tika berkeliling di dalam rumah, bahkan ke halaman belakang mencari ibunya. Biasanya Ibu senang duduk di teras belakang sambil membaca majalah, menunggunya pulang. Lagi-lagi, hasilnya nihil.
Tika kembali ke dapur. “Mbak Par, Ibu ke mana? Ke pasar, ya?” tanyanya. Mbak Par yang sedang mengiris wortel menoleh.
“Neng Tika sudah pulang rupanya,” ujar Mbak Par. Tika tak menjawab. Ia mengulang pertanyaannya.
“Lo, Neng Tika enggak tahu to? Ibu sakit, Neng. Tadi pagi waktu Ibu sedang menyapu halaman depan, tiba-tiba pingsan. Untung pas Bu RT lewat depan rumah, jadi Ibu bisa langsung ditolong. Ibu dibawa ke rumah sakit. Bapak juga sudah menyusul ke sana,” jelas Mbak Par panjang lebar.
Tika kaget. Pantas saja Mbak Par ada di rumah, menggantikan Ibu memasak.
“Lalu, bagaimana kondisi Ibu sekarang? Ibu sakit apa? Kenapa tidak ada yang memberitahuku?” Tika kembali memberondong Mbak Par dengan pertanyaan.
“Tadi kata Bapak, Ibu sudah mendingan, tapi belum boleh pulang. Jadi, Ibu menginap di rumah sakit malam ini. Pesan Bapak, Neng Tika enggak usah kuatir. Ibu cuma kecapekan. Mungkin besok Ibu sudah boleh pulang,” ujar Mbak Par dengan logat Jawanya yang kental.
Tika syok. Terbayang di benaknya bagaimana nanti malam tak ada Ibu di rumah. Pasti sepi. Ia jadi teringat, ada PR Bahasa Inggris yang harus dikerjakan hari ini, karena besok dikumpulkan. Aduh, siapa yang akan membantu bikin PR? Sontak hati Tika galau.
Siang itu, Tika makan dengan lesu. Ayam goreng buatan Mbak Par yang biasanya ia santap dengan penuh semangat, kali itu hanya ia potong-potong dan ia pandangi dengan tatapan kosong. Rasanya malas mau melakukan apa pun.
Telepon di rumah berdering. Tak lama, Mbak Par memanggilnya. Ternyata ayah yang menelepon, memberi tahu akan pulang terlambat karena harus menyelesaikan pekerjaan. Itu artinya, Tika hanya akan tinggal berdua saja dengan Mbak Par sampai ayah pulang nanti malam. Ia kembali terduduk lesu.
*
Malam itu, Tika mati-matian berjuang melawan kantuk sambil mengerjakan PR. Berkali-kali ia menguap dan tertidur, sementara PR-nya masih banyak yang belum ia kerjakan. Ia jadi teringat ibu. Kalau melihat Tika seperti itu, biasanya Ibu tertawa, lalu dengan sabar mengajarinya sampai PR-nya selesai. Tak lupa, ibu menyediakan segelas cokelat panas dan biskuit kesukaannya agar Tika tetap semangat.
Tika menyandarkan punggungnya ke tembok kamar dengan malas. Mendadak ia melompat dari tempat tidur. Ia teringat, buku yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah minggu lalu harus dikembalikan besok. Bergegas Tika mencarinya di tumpukan buku di meja belajar, tapi tidak ada. Di laci meja juga tidak ada.
Gawat, dendanya pasti makin banyak, pikirnya setengah panik, Seharusnya Tika sudah mengembalikannya minggu lalu, tapi ia lupa. Padahal, ia kerap melihat buku itu ada di meja belajarnya saat itu. Apesnya, sekarang buku itu seperti raib tanpa jejak. Seluruh kamar sudah diobrak-abrik, tapi buku tentang kisah hidup pengarang cerita anak kelas dunia itu tak juga ketemu.
Antara lelah dan mengantuk, Tika beranjak ke dapur untuk mengambil minum. Di ruang tengah, matanya berbinar melihat buku yang dicarinya tergeletak di atas meja. Ia baru ingat, dia sendiri yang meletakkan buku itu di sana, kemarin. Tika mengambil napas lega. Ia kembali ke kamarnya, tapi perasaannya kembali suram melihat kamarnya berantakan. Kalau ada ibu, pasti aku sudah dibantu merapikan kamar, ujarnya dalam hati.
Ah, Tika jadi kangen ibu. Ia ingat, Ibu selalu penuh sabar menghadapi rengekannya ketika ada sesuatu yang tak sesuai dengan keinginannya. Dengan penuh rasa sayang, Ibu biasanya akan memeluknya sambil memberi pengertian, sampai akhirnya Tika mampu meredam keinginannya.
Tapi, biasanya Tika kurang suka bila Ibu menyentuh kulitnya yang halus. Telapak tangan ibu agak kasar. Tika menghela napas sambil memandang ke sekeliling kamarnya. Kamarnya selalu rapi dan bersih, padahal ia tak pernah membersihkan kamar. Malah, ia sering meletakkan tas dan peralatan sekolah sembarangan. Ibu memang sudah menyuruhnya, tapi malas rasanya membereskan kamar yang berantakan.
Ibulah yang melakukan semua pekerjaan di rumah karena memang tak ada pembantu, mulai dari menyapu, mengepel, memasak, menyetrika baju, sampai membersihkan halaman. Mendadak Tika sadar. Pastilah tangan ibu jadi kasar karena mengerjakan semua pekerjaan rumah. Ibu rela tangannya yang kecil dan halus itu berubah menjadi kasar demi rumah tetap terawat dan semua urusan rumah beres.
Dan apa yang sudah kamu lakukan sebagai baktimu pada ibu, Tika? Hati kecilnya bertanya. Ia merasa sangat bersalah pada ibu. Yang dilakuannya selama ini hanya menuntut dan menuntut. Menginginkan ini dan itu. Ngambek seharian kalau keinginannya tak dipenuhi saat itu juga. Dan ibu sebetulnya tak pernah lelah memberi pengertian pada Tika. Tika pun tahu apa yang seharusnya dilakukan. Hanya saja, Tika memilih untuk tetap ngotot pada keinginannya.
Jangan-jangan, itu pula yang membuat ibu kecapekan dan akhirnya pingsan tadi pagi. Tika ingat, kemarin ia minta dibuatkan zuppa soup kesukaannya, padahal ia tahu ibu sedang sibuk menyiapkan arisan keluarga sore itu. Belum lagi, malamnya ibu masih harus mengajarinya matematika. Ibu memang terlihat sangat capek tadi malam. Beberapa hari ini ibu kurang istirahat karena mengurus ayah yang sakit. Ah, lengkaplah sudah penderitaan ibu.
Betapa ingin Tika meminta maaf dan memeluk ibu sekarang juga. Ia ingin sekali tangan ibu mengelusnya lagi, seperti biasanya kalau Tika sedang ngambek. Ia berjanji tidak akan keberatan lagi bila tangan ibu mengelusnya. Tika bertekad tidak akan membiarkan tangan ibu semakin kasar tanpa bantuannya mengurus rumah.
Ibuuuuu… Tika menjerit dalam hati memanggil ibu. Air matanya mengalir deras tanpa terasa. Lelah menangis membuat Tika tertidur tanpa tahu ayah pulang membawa martabak keju kesukaannya.
Pagi-pagi, bangun tidur Tika langsung merapikan sprei kasurnya. Ayah yang berniat membangunkannya terheran-heran di pintu kamar. “Tumben, bangun sendiri. Gitu, dong, anak perempuan Ayah harus rajin,” ayah mengacungkan dua jempol. Tika tersipu malu.
“Kapan Ibu pulang, Yah?” tanya Tika.
“Nanti siang. Kalau kamu mau, nanti kita jemput Ibu bareng-bareng. Pulang sekolah kita langsung ke rumah sakit. Gimana?” ayah balik bertanya. Tika gantian mengacungkan dua jempol. Mereka berdua tertawa.
*
Siang itu, sambil menunggu ayah datang, Tika tampak sibuk. Ia memasukkan setangkai mawar warna marun kesukaan Ibu ke dalam vas kecil yang diisi air. Sepulang sekolah tadi, Tika sengaja mampir ke rumah Rani yang tinggal di sebelah rumah, untuk meminta mawar itu.
Di sebelah vas, Tika juga menyiapkan kertas berisi permintaan maaf pada Ibu. Tak lupa, potongan mangga harum manis favorit Ibu sudah disiapkan Tika di dalam kulkas, tinggal dikeluarkan ketika Ibu datang.
Rumah juga sudah rapi. Lantai sudah bersih dan kinclong. Tika bersikeras meminta Mbak Par membiarkannya menyapu dan mengepel. Tika ingin membuat hati ibu senang. Ia juga tak sabar ingin segera bertemu Ibu. Pandangannya menyapu sekeliling ruangan dengan tatapan puas. Semoga ibu suka, pikirnya.
“Waaah…bersih sekali rumah kita. Terima kasih, ya, Nak, sudah bersih-bersih rumah,” tahu-tahu terdengar suara dari belakang Tika. Ia menoleh kaget. Tampak ibu sedang tersenyum lebar ke arahnya. Di sebelahnya, ayah membawa tas berisi perlengkapan ibu selama di rumah sakit.
“Maaf Tika, Ayah enggak jadi jemput kamu. Ayah harus buru-buru berangkat ke kantor lagi,” ujar Ayah mengungkapkan alasan.
Seolah tak mendengar ucapan ayahnya, Tika langsung menghambur ke pelukan Ibu. Rasa rindu dan perasaan bersalah pada Ibu yang sudah membuncah membuatnya menangis sesenggukan.
“Maafkan Tika selama ini, Bu. Tika janji akan mengubah sikap jadi lebih baik,” ujarnya di sela-sela tangis. Ibu mengiyakan sambil mengusap pipi Tika dan mencium keningnya, seperti biasa. Ah, betapa Tika sudah merindukan tangan ibu. Air matanya makin deras mengalir.
“Wah, senang, deh, anak Ibu ternyata sekarang sudah besar,” ledek Ibu. Tika tertawa malu sambil mengusap air mata. Dalam hati ia berjanji akan membantu ibu setiap hari dan tak gampang ngambek lagi.
*
Penulis | : | Lila |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR