“Yang sudah siap boleh angkat tangan!”
“Saya pernah masak kacang hijau, teapi kacangnya tidak mau empuk. Saya salah karena memasukkan gula terlalu cepat. Kacang harus pecah dulu baru boleh dimasukkan gula,” kata Lala.
“Waktu baru pindah dari kompleks perumahan Permata, saya pulang ke rumah dan salah masuk rumah orang. Kali lain, saya perhatikan nomor rumahnya dulu. Mama memasang pot anggrek di tiang garasi sebagai pertanda,” kata Hendri.
“Nah, sekarang giliran Badu. Sepertinya pengalaman soal makanan,” kata Pak Awang.
“Teman-teman, kesalahan saya kecil tetapi akibatnya besar. Ketika makan di restoran, saya kebanyakan menuangkan lada. Akibatnya sebagian mi tidak bisa dimakan. Mau beli lagi, uang tidak cukup. Jadi, saya makan tidak sampai kenyang,” kata Badu. “Kalian hati-hati, ya, kalau mau menuangkan lada,” sambung Badu.
“Ha ha ha!” anak-anak riuh tertawa.
“Sekarang giliran Rani,” kata Pak Awang.
“Ketika saya latihan menari, saudara sepupu saya menitipkan kebaya Mama yang baru dijahitkan ibunya. Kebaya itu mau dipakai kondangan hari Minggu. Ketika pulang, saya lupa membawanya. Terpaksa, deh, saya harus hati-hati supaya tidak lupa,” kata Rani.
“Ya, lupa itu bisa sangat berbahaya,” ujar Pak Awang.
“Tetangga kami masak mi instan, lalu pergi ke warung. Akibatnya terjadi kebakaran,” terdengar cerita dari seorang murid.
“Kesalahan melalui kata-kata jug abanyak terjadi. Kadang-kadang orang marah atau sakit hari karena ucapan kita,” ucap Pak Awang. “Kalau itu terjadi, kita harus cepat-cepat minta maaf,” lanjut Pak Awang.
“Ya, Pak. Kita harus berpikir dulu, baru berbicara,” tambah Erika.
Menuju Dua Dekade, National Geographic Indonesia Gelar Pameran Foto Sudut Pandang Baru Peluang Bumi
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR