Cerita Misteri Anak: Tiga Bersaudara

By Sepdian Anindyajati, Kamis, 22 November 2018 | 17:05 WIB
Ilustrasi pohon apel emas. (Melisa/Dok. Majalah Bobo )

 

Bobo.id - Hei teman-teman, pasti sudah tidak sabar menunggu cerita misteri anak hari ini. 

Cerita misteri anak hari ini bercerita tentang tiga bersaudara.  

Yuk, kita baca cerita anak hari ini. 

--------------------------------------

Baca Juga : Cerpen Anak: Daun Keemasan

Dahulu kala, ada seorang kaya bernama Pak Tanaka. Ia memiliki tanah yang sangat luas dan sebuah kebun yang ditumbuhi pohon apel emas.

Pak Tanaka memiliki tiga putra. Taro dan Jiro adalah putra pertama dan kedua yang bertubuh kekar. Sanro, si putra ketiga, bertubuh kecil dan pendiam, sehingga tampak lemah. Kedua kakaknya sering menganggap dia remeh.

Pak Tanaka sangat bangga akan kebunnya yang ditumbuhi pohon apel emas. Buah-buah apel di pohon itu berkilau indah di siang hari.

Sayangnya, di musim pohon itu berbuah banyak, setiap hari, apel-apel emas itu hilang. Tak ada yang tahu, siapa atau hewan apa yang memakannya.

Suatu hari di musim buah, Pak Tanaka tidak bisa menahan kekesalan hatinya lagi. Apel-apel emasnya lagi-lagi hilang. Ia lalu menyuruh ketiga putranya untuk bergantian menjaga pohon apel emasnya.

Taro mendapat kesempatan untuk menjaga pohon apel emas di hari pertama. Sayangnya, saat duduk berjaga di bawah pohon, ia jatuh tertidur. Pada saat itu, seekor keledai mendekat ke pagar kebun itu. Ia menggali bagian bawah pagar, lalu merayap masuk di bawahnya dan muncul di dalam kebun.

 

Dengan leluasa, keledai itu melahap sebutir apel emas di pohon. Ia kemudian pergi diam-diam, dan merayap keluar lagi dari lubang galian di bawah pagar.

Esok harinya, Pak Tanaka bangun pagi-pagi sekali. Ia menghitung apel emasnya dan tahu kalau sebutir apelnya hilang. Ia lalu menugaskan putra keduanya, Jiro, untuk berjaga di malam kedua. Sayangnya, Jiro juga tertidur di bawah pohon saat berjaga. Si keledai masuk lagi dan memakan sebutir apel emas.

Keesokan paginya, Pak Tanaka bangun dan menghitung apelnya di pohon. Sebutir apelnya hilang lagi. Pak Tanaka bingung, tak tahu harus berbuat apa lagi. Pada saat itu, Sanro mendekati ayahnya dan berkata,

"Ayah, biarkan aku yang berjaga malam ini!"

Pak Tanaka menggelengkan kepalanya ragu.

“Sanro, kedua kakakmu yang bertubuh besar saja gagal berjaga. Apalagi kamu yang belum berpengalaman...”

Baca Juga : Cergam Bobo: Mata-Mata Pulau Permata

Sanro tak berkecil hati karena dianggap tidak mampu. Ia menyiapkan ketapel untuk berjaga-jaga.

Sanro berjaga dengan penuh semangat. Namun, sampai tengah malam, tidak ada satu makhluk pun yang datang. Saat kepalanya terantuk, ia terbangun kaget dan berusaha menahan kantuknya. Sanro bahkan menggosok sedikit daun wasabi di dekat matanya. Karena pedih, matanya berair dan terus terbuka. Kini ia bisa lebih waspada berjaga.  

Akhirnya, Sanro mendengar seperti bunyi tanah yang digali. Ia mendekat ke arah datangnya bunyi dan mengintip. Ia melihat seekor keledai sedang menggali tanah dan berhasil masuk ke kebun. Sanro segera membidik dengan batu dan ketapelnya. PLETAK!

“OINK... OIIINK...”

Terdengar jeritan heboh si keledai. Karena ketakutan, keledai itu berusaha keluar lagi dari lubang yang ia gali. Namun ia justru terjebak di lubang itu, di antara kayu-kayu pagar kebun.

Baca Juga : Misteri Hantu Kapal Kakek

Taro dan Jiro mendengar bunyi ribut itu. Mereka berlari dan takjub ketika melihat seekor keledai terjebak di antara pagar kebun mereka. Ternyata itulah keledai pencuri apel. Mereka segera berbisik,

"Apa yang harus kita lakukan? Ayah pasti akan memarahi kita. Kita gagal sementara si Sanro yang lemah ini berhasil!”

"Mari kita buang dia ke sumur! Kita katakan pada Ayah bahwa kita yang berhasil menangkap keledai itu!”

Taro dan Jiro lalu menangkap Sanro. Mereka membawa Sanro di tepi desa, dan membuang adik mereka ke dalam sumur. Mereka lalu membawa keledai tadi ke hadapan ayah mereka.

"Kami berhasil menangkap keledai ini, Ayah! Dialah yang memakan apel emas Ayah!”

Baca Juga : Rumah untuk Lemari Jati

Taro dan Jiro mendapat pujian dari ayah mereka. Pak Tanaka juga percaya pada cerita kedua anaknya, bahwa Sanro pergi meninggalkan desa itu karena malu atas kegagalannya.

Sementara itu, Sanro menangis di dalam sumur. Ia tak menduga kedua kakaknya jahat padanya. Ia menangis dan menangis tak henti. Air matanya menetes terus dan membasahi semak-semak di dalam sumur. Beberapa waktu kemudian, semak-semak itu tumbuh semakin tinggi. Bukan semak biasa, namun semak yang berwarna indah.

Suatu hari, seorang petani lewat di dekat sumur itu. Ia terkejut ketika melihat semak-semak indah tumbuh keluar dari dalam sumur. Dia memotongnya dan melilitkan semak indah itu di serulingnya. Kini serulingnya tampak indah berwarna-warni.

Anehnya, begitu seruling itu ia tiup, alat musik itu mengeluarkan bunyi dan nyanyian sendiri. Nyanyiannya seperti ini...

"Mainkanlah, petani yang baik, mainkanlah seruling.

Katakan pada ayahku, aku ada di sumur kering.

Kakak-kakak membuangku, mengambil keledaiku.

Airmataku menetes, semak indah pun tumbuh...”

Baca Juga : Semangkuk Tekwan di Tengah Hujan untuk Laras dan Bapak

Petani itu bergegas pergi ke kedai tempat para petani beristirahat dan bersantai. Petani itu bercerita tentang serulingnya pada para petani lain di tempat itu.

"Hal ajaib terjadi padaku," kata petani itu. "Aku pergi memotong semak indah di sumur tua. Semak itu aku pakai menghias serulingku. Anehnya, seruling ini bernyanyi sendiri ketika ditiup.”

Pada saat itu, Pak Tanaka kebetulan lewat di tempat itu, sepulang melihat-lihat keadaan sawahnya. Ia mendengar cerita si petani. Pak Tanaka penasaran. Ia masuk ke kedai itu dan meminjam seruling itu. Ia mencoba meniupnya. Seruling itu berbunyi,

"Mainkanlah, Ayah yang baik, mainkanlah seruling.

Kubisikkan pada Ayah, aku ada di sumur kering.

Kakak-kakak membuangku, mengambil keledaiku.

Airmataku menetes, semak indah pun tumbuh...”

Pak Tanaka sangat terkejut mendengar nyanyian itu. Ia membeli seruling itu dari si petani dan membawanya pulang. Ia memberikan seruling itu pada istrinya dan istrinya meniupnya,

"Mainkanlah, Ibu yang baik, mainkanlah seruling.

Kubisikkan pada Ibu, aku ada di sumur kering.

Kakak-kakak membuangku, mengambil keledaiku.

Airmataku menetes, semak indah pun tumbuh...”

 Baca Juga : Misteri Suara Garukan

Istri Pak Tanaka sangat terkejut. Pak Tanaka mulai curiga pada kedua putranya. Maka ia memberikan seruling itu pada si Taro untuk dimainkan. Namun kedua anak itu tak mau.

“Kalian harus bergantian memainkannya!” perintah Pak Tanaka.

Akhirnya, Taro mencoba lebih dulu. Seruling itu pun mengeluarkan bunyi,

"Mainkanlah, Kakak yang kejam, mainkanlah seruling.

Katakan pada ayahku, aku ada di sumur kering.

Kakak-kakak membuangku, mengambil keledaiku.

Airmataku menetes, semak indah pun tumbuh...”

Pak Tanaka mengambil seruling itu dan memberikannya pada putra keduanya. Jiro terpaksa meniup seruling itu dengan takut, dan terdengarlah bunyi yang sama,

Baca Juga : Negeri Dongeng: Anak Beruang

"Mainkanlah, Kakak yang kejam, mainkanlah seruling.

Katakan pada ayahku, aku ada di sumur kering.

Kakak-kakak membuangku, mengambil keledaiku.

Airmataku menetes, semak indah pun tumbuh...”

Pak Tanaka menatap kedua putranya dengan mata melotot marah.

“Kalian sudah membohongi Ayah! Selama ini, Sanro tidak pergi meninggalkan desa ini. Dialah yang berhasil menangkap keledai pemakan apel emas itu! Kalian membuangnya ke sumur, kan?” bentak Pak Tanaka.

Baca Juga : Renato dan Piano Ajaib

Taro dan Jiro akhirnya mengakui perbuatan jahat mereka. Mereka menangis sedih dan meminta ampun. Mereka lalu pergi ke sumur, dan menolong adik mereka naik kembali ke atas. Selama ini, Sanro hidup hanya dengan makan akar tumbuhan dan minum air hujan.

Sanro memaafkan kedua kakaknya. Pak Tanaka mewariskan kebun apel emasnya untuk Sanro. Taro dan Jiro dengan ikhlas menerima keputusan ayahnya yang adil itu. Mereka bersyukur karena ayahnya tidak memasukkan mereka ke dalam penjara.

Cerita: Arsip Majalah Bobo.