6. Happy Hypoxia
Tanpa ditandai gejala apapun, happy hypoxia atau silent hypoxemia mengancam jiwa atau menyebabkan kematian pada pasien yang terinfeksi virus corona SARS-CoV-2.
Secara umum suatu infeksi di jaringan paru disebut penumonia.
Pneumonia akan menyebabkan gangguan sirkulasi oksigen masuk ke dalam darah, yaitu gangguan disfungsi atau gangguan pada vaskuler (pembuluh darah). Hal ini membuat darah enggak teroksigenisasi.
Akibatnya, kandungan oksigen dalam darah rendah atau disebut hipoksemia.
Silent hypoxemia atau happy hypoxia ini tidak menimbulkan gejala atau keluhan sakit pada organ-organ tubuh.
Sampai saat ini, belum ada penjelasan ilmiah secara pasti dan jelas terkait happy hypoxia yang dialami pasien dengan COVID-19.
Kasus happy hypoxia pada pasien dengan COVID-19 sebenarnya sudah terjadi sejak awal ditemukan infeksi virus SARS-CoV-2 di Indonesia.
Happy hypoxia bisa dicegah dengan melakukan deteksi dini, dengan pemeriksaan kadar oksigen yang bisa dilakukan di fasilitas layanan kesehatan, dan juga bisa dilakukan secara mandiri.
7. Gejala Neurologis
Sebuah penelitian yang diterbitkan di Lancet pada Agustus lalu, menemukan lebih dari 55% orang yang terinfeksi virus corona, masih melaporkan gejala neurologis tiga bulan sesudah didiagnosis.
Ini bisa termasuk kebingungan, kesulitan berkonsentrasi, kelelahan, perubahan kepribadian, sakit kepala, insomnia, dan kehilangan rasa dan atau bau.
Para peneliti memperingatkan, COVID-19 pada akhirnya bisa menyebabkan "epidemi kerusakan otak," mengingat fenomena tersebut terjadi sesudah pandemi flu tahun 1918.
Baca Juga: Jadi Gejala Baru COVID-19, Apa Itu Happy Hypoxia atau Hypoxemia?