Tak Bisa Digunakan Sembarangan, Ini 5 Motif Batik Larangan di Keraton Yogyakarta

By Amirul Nisa, Minggu, 10 Maret 2024 | 18:00 WIB
Adipati Mangkoenagoro X yang mengenakan kain batik motif parang pada acara kenaikan tahta di Pendapa Agung Puro Mangkunegaran. (kratonjogja.id)

Motif parang adalah motif batik yang sempat sangat sakral saat Sri Sultan Hamengkubuwono VIII bertahta pada tahun 1921-1939.

Batik ini punya dua makna, yaitu sebagai pola bentuk pedang yang digunakan para kesatria dan penguasa saat perang.

Sedangkan makna lainnya adalah sebagai gerakan ombak Laut Selatan yang menerpa karang di tepi pantai.

Dua makna itu sama-sama menjadi gambaran kekuasaan, kebesaran, kekuatan, kewibawaan, dan kecepatan gerak.

Jenis motif parang sangat beragam dengan aturan yang berbeda-beda pada setiapnya.

- Parang rusak barong dengan ukuran lebih dari 10 cm hanya boleh digunakan oleh raja dan putra mahkota.

- Parang barong ukuran 10-12 cm dipakai oleh putra mahkota, permaisuri, kanjeng panembahan dan istri utama, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati dan istri utamanya, putra sulung dan istri utama, putra putri sultan dari permaisuri, dan patih.

- Parang gendreh ukuran 8 cm hanya dipakai oleh istri sultan, istri putra mahkota, putra-putri dari putra mahkota, pangeran sentana, para pangeran dan istri utamanya.

- Parang klothik dengan ukuran 4 cm ke bawah hanya dipakai oleh putra ampeyan Dalem, dan garwa ampeyan atau selir putra mahkota, cucu, cicit/buyut, canggah, dan wareng.

4. Motif Cemukiran

Motif cemukiran adalah motif batik yang berbentuk lidah api atau sinar. Api pada batik ini punya makna kehidupan yang melambangkan keberanian, kesaktian, dan ambisi.

Baca Juga: Dikenal sebagai Identitas Indonesia, Ini 10 Motif Baik dan Filosofinya