Iva dan Ibu Tiri (2)

By Sylvana Toemon, Selasa, 15 Mei 2018 | 05:00 WIB
Iva dan Ibu Tiri (2) (Sylvana Toemon)

Cerita sebelumnya klik di sini.

Iva punya ibu tiri yang dipanggilnya Mami Ti. Sejak Mami Ti datang 2 bulan yang lalu Iva merasakan banyak hal berubah. Adiknya Eli suka pada Mami Ti, sedangkan kakaknya Mas Doni tinggal dengan Oma. Suatu hari Iva tidak suka sarapan pagi yang disediakan Mami Ti dan dalam keadaan sakit pergi ke sekolah.

Mobil jemputan berhenti di gerbang sekolah. Anak-anak berebut turun dari mobil. Iva turun terakhir dan berjalan dengan lunglai. Jam pelajaran pertama ulangan matematika. Badan Iva makin tidak enak. Ketika anak-anak sedang mengerjakan soal matematika, tiba-tiba Iva merasa pandangannya gelap.

Bahkan ia tidak tahu ketika dirinya dibawa ke ruang UKS. Entah berapa lama ia pingsan, tiba-tiba ia mencium bau eau de cologne. Matanya masih terpejam. Kemudian terdengar suara-suara.

"Apakah di rumah ia sering pingsan?" tanya Bu Sari.

"Tidak," jawab Papa.

"Atau ia tidak sarapan pagi?" kata Bu Sari lagi.

"Tadi ia makan sedikit. Susu yang disediakan pun tidak diminum. Anaknya agak sulit!" terdengar suara Mami Ti.

"Apa? Aku dibilang agak sulit? Dulu Mama tak pernah mengatakan begitu. Papa juga,"

Iva merasa tersinggung. Iva membuka mata, memandang Bu Sari, Papa, dan Mami Ti, lalu memandang ke pintu ruang UKS.

"Aku mau ke kelas, ada ulangan matematfka!" kata Iva.

"Sudah lewat jamnya Iva. Kita pulang dulu saja, ya. Biar Iva istirahat. Kalau sudah sembuh, Iva bisa ikut ulangan susulan matematika!" bujuk Papa.

"Biarlah Iva minum obat dulu, badannya agak panas!" kata Bu Sari. Lalu ia mengambilkan tablet putih dan air segelas.

Setelah itu Mami Ti membantu Iva bangkit dan membimbingnya menuju mobil. Papa membawakan tas sekolahnya.

Di rumah, Iva langsung ganti pakaian dan masuk ke kamar tidur. Papa bersiap kembali ke kantor. Sebelum berangkat Papa berpesan, "Iva harus sarapan pagi yang banyak. Jangan sampai pingsan lagi. Nanti siang minta obat lagi pada Mami Ti."

Iva mengangguk. Lalu ia berbaring. Di luar terdengar suara tamu sedang berbicara dengan Mami Ti.

"Kata si Sum, Dik Ti pergi ke sekolah, jadi saya tunggu saja. Ada apa? Si Iva pingsan? Sakit apa dia?" tanya Bu Sugeng.

"Badannya panas. Sudah minum obat. Kalau belum turun panasnya nanti sore akan dibawa ke dokter," jawab Mami Ti.

"Wah, repot juga ya mengurus dua anak. Apalagi kalau yang laki-laki tinggal di sini!"

"Ah, tak apa-apa. Mereka anak-anak yang baik, kok. Doni juga nanti akan kembali ke sini. Tapi, biarlah pelan-pelan dulu!" kata Mami Ti lagi. "Mari, Bu Sugeng, dipas dulu bajunya."

Iva mengerutkan kening. Agak bingung. Tadi Mami Ti bilang Iva anak sulit, sekarang katanya anak yang baik. Mana yang betul?

Tapi, kemudian Iva ingat satu hal. Karena sakit, rencananya mau ke rumah Oma jadi buyar. Jadi ia harus lekas sembuh dan sehat supaya bias diizinkan ke rumah Oma.

Jadi waktu siang hari Iva makan banyak-banyak. Susu yang di lemari es juga dihabiskannya. Mami Ti senang dan memujinya, "Nah, bagus, Iva. Kalau ada selera makan, badan akan sehat dan kuat!"

Beberapa hari kemudian Iva diizinkan pergi ke rumah Oma. Duh, Iva sudah rindu berat. Mami Ti memberinya uang untuk naik bajaj. "Jangan naik bus, nanti tunggunya lama. Lagi pula busnya penuh. Nanti tak dapat tempat duduk," kata Mami Ti.

Di rumahnya Oma menyambutnya dengan gembira. la memeluk Iva, menciumnya dan menanyakan mengapa lama Iva tidak datang.

"Mengapa kamu tidak telepon kamu mau datang? Kalau tahu, kan, Oma bisa buatkan tahu  dengan bumbu kacang kesukaanmu!" kata Oma.

"Di rumah tak ada telepon, Oma!" kilah Iva. Tapi, Iva merasa sangat senang karena Oma memperhatikannya.

"Oma masak sayur sup dan ikan goreng, serta kerupuk dan sambal. Makanlah," kata Oma. "Mudah-mudahan kamu suka."

"Kalau masakan Oma, Iva pasti suka!" kata Iva.

Oma tersenyum senang. Ketika ia makan, Doni datang.

"Apa kabar, Va? Bagaimana si Eli?" tanya Doni. "Eh, aku lupa. Mestinya kutanya: Bagaimana kabarmu, anak SD?"

"Huuh soknya, mentang-mentang sudah SMP!" kata Iva. "Baru juga kelas satu!"

Doni pun makan bersama Iva.

"Kamu kurus, Iva. Kurang makan, ya," goda Doni.

"Tak tahulah. Aku sering kesepian. Si Eli makin dekat dengan Mami Ti. Rasanya aku ingin tinggal di sini saja. Lebih enak!" kata Iva.

"Siapa bilang lebih enak? Aku juga kadang-kadang kesepian. Aku rindu padamu dan Eli. Papa tidak mengajakku nonton sepak bola lagi. Oma dan Tante Susi tidak bisa main catur!"

"Aku bisa. Kalau aku tinggal di sini, aku bisa menemanimu main catur!" kata Iva dengan semangat.

"Ah, kamu main caturnya payah. Lebih seru main dengan Papa. Kalau main dengan kamu pasti aku menang terus!" kata Doni.

Oma sibuk merajut sambil memasang telinga. Sesudah kedua anak itu makan, Oma  menyediakan puding coklat.

"Ohh, puding kesukaan keluarga. Sama seperti buatan Mama dulu. Sudah lama aku tidak mencicipinya!" kata Iva senang.

"Tentu saja sama. Mamamu, kan, belajar dari Oma. Nanti Oma akan berikan resepnya pada Mami Ti," kata Oma.

Lalu Iva bercerita tentang peristiwa pingsannya di sekolah dan perasaan segannya untuk bercerita pada Mami Ti. Juga bahwa Mami Ti tidak seperti Mama. Oma mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Kamu tak bisa selalu membandingkan Mama dengan Mami Ti. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Yang penting dua-duanya sayang padamu. Cuma, karena Mami Ti masih baru, banyak hal yang dia belum tahu. Kamu harus bersikap terbuka. Katakan sejujurnya apa yang kamu suka dan apa yang tidak. Kita bersyukur Eli lekas menyesuaikan diri. Kalau hubunganmu dengan Mami Ti sudah erat, Doni juga boleh pulang ke rumah. Nah, kalian bisa menjadi keluarga utuh yang harmonis seperti dulu. Itu lebih bagus, bukan?" nasihat Oma.

Iva mengangguk. Dia bisa menerima nasihat Oma. Dia akan mencoba bersikap lebih terbuka pada Mami Ti.

Bersambung

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.