Di dekat kaki pelangi, terdapat sebuah dataran luas yang subur. Dataran Hijau namanya. Ujung Barat dataran itu ditinggali oleh Suku Ihik. Ujung Timurnya ditinggali Suku Elalala.
Di tengah Dataran Hijau, ada sebuah pohon beringin besar. Seorang pertapa duduk bertapa di bawahnya. Pertapa itu dikenal dengan sebutan Pertapa Bijak Dataran Hijau.
Tak jauh dari dataran itu, ada sebuah bukit tandus. Bukit itu dihuni oleh Suku Gubrak yang terkenal suka berkelahi. Suku Gubrak ingin sekali menguasai seluruh Dataran Hijau.
Suatu hari, Gugabruk, ketua suku Gubrak, mengumpulkan seluruh rakyatnya, “Ayo, kita adu domba Suku Ihik dan Elalala! Biar mereka berkelahi, brak bruk brok sampai babak belur! Setelah mereka kelelahan, kita serang, brak bruk brok, dan ambil alih Dataran Hijau!”
Gugabruk lalu mengirim si kembar Dubrak dan Debrok ke Dataran Hijau. Mereka ditugasi menghasut rakyat Ihik dan Elalala.
“Rakyat Elalala, aku punya berita penting! Kudengar, suku Ihik ingin menguasai seluruh Dataran Hijau ini. Jadi, kalian akan diserang habis oleh mereka, brak bruk brok!” Dubrak mulai menyebar fitnahan ke rakyat Elalala.
“Elalala! Yang betul?!” seru rakyat Elalala kaget. Mereka memang mudah sekali kaget dan bingung.
“Elalala! Kita harus bersiap-siap!” seru mereka lagi sambil berlari bolak-balik panik.
Sementara itu, Debrok juga mulai menyebar fitnah di antara rakyat Ihik.
“Rakyat Elalala ihik akan menyerang kami ihik dan menguasai Dataran Hijau ihik?” seru rakyat Ihik marah.
“Ya, betul! Kalian akan dihabisi, brak bruk brokl Selain itu, kata rakyat Elalala, kalian susah diajak ngomong! Soalnya, kalau kalian ngomong, nangis, atau cegukan, tidak ada bedanya!” Debrok memanas-manasi.
Seketika rakyat Ihik mengais-ngaiskan kaki kanannya di tanah. Itu tandanya mereka marraaah sekali!