Misteri Syamsudin, Tuanku nan Hilang

By Sylvana Toemon, Rabu, 16 Mei 2018 | 13:00 WIB
Misteri Syamsudin, Tuanku nan Hilang (Sylvana Toemon)

“Nyam nyam, kres...kres...” Aku mengunyah wafer-ku dengan nikmat sambil mendengar penjelasan Bapak Pemandu Wisata.

“Menurut legenda, Batu Talempong ini awalnya berserakan di bukit Padang Aro dan dipindahkan ke tempatnya sekarang oleh seorang pemuda yang bernama Syamsudin. Anehnya Syamsudin memindahkan batu-batu berukuran besar itu dengan cara seperti orang menggiring ternak ke kandang. Setelah itu, Syamsudin sering menghilang sehingga penduduk desa menyebutnya Syamsudin, Tuanku Nan Hilang.“ Demikian penjelasan Bapak itu mengenai Batu Talempong, batu yang bisa berbunyi seperti alat musik talempong jika dipukul. Namun, bukan sembarangan dipukul, lo. Sebelumnya harus dibakarkan kemenyan putih dulu, baru ada suaranya.

Yah, waferku sudah habis. Tenang, masih ada kerupuk. Pluk. Kubuang bungkus waferku ke tanah. Bret...bret! Aku membuka bungkus kerupuk.

Krauk krauk… kres kres...” Aku semakin lahap mengunyah kerupukku. Aku sama sekali tidak tertarik dengan kisah batu talempong. Paling itu hanya bohong-bohongan saja. Aku melirik adikku, Nina, yang menatap batu itu dengan penuh minat. Ah, dasar masih anak-anak. Dibohongi, mau saja!

Kres..kres..kres...” Aku kembali mengunyah.

“Hus, Dino!” Kakak sepupuku, Tino, menyikut perutku.

“Apa sih?” Dengusku sambil balas menyikutnya. Rombongan kami mulai bergerak meninggalkan objek wisata Batu Talempong itu.

“Jangan berisik. Makan saja, kok, ramai betul. Nanti Syamsudin, Tuanku Nan Hilang marah, lo!”

“Ah, kamu sama saja dengan Nina. Percaya saja!” kataku sambil membuang bungkus kerupukku ke rumput. Lalu, aku beranjak mengikuti rombonganku.

Fhwaah capeeek...” keluhku sambil menjatuhkan diri ke atas sofa kamar hotel kami. Hari sudah sore kami sudah bepergian seharian menyusuri Sumatera Barat nan luas. Sejuknya AC hotel mulai membuaiku. Mataku mulai berat. Masih terlihat olehku Kak Tino dan Nina yang sibuk membantu ibu menurunkan oleh-oleh hasil belanja hari ini.

Hoaaaaahhhmm…” aku menguap. Tak berapa lama kemudian aku tertidur.

Aku merasa ada sesuatu yang mengusik pipiku. “Uh... mengganggu orang tidur saja,” pikirku. Aku menggaruknya dengan tidak sabaran. Benda itu semakin keras mengusik pipiku. Kresek... kresek... Eh, sekarang malah ada suaranya. Terpaksa deh aku bangun. Aku menemukan bungkus wafer di bantalku.