“Nyam nyam, kres...kres...” Aku mengunyah wafer-ku dengan nikmat sambil mendengar penjelasan Bapak Pemandu Wisata.
“Menurut legenda, Batu Talempong ini awalnya berserakan di bukit Padang Aro dan dipindahkan ke tempatnya sekarang oleh seorang pemuda yang bernama Syamsudin. Anehnya Syamsudin memindahkan batu-batu berukuran besar itu dengan cara seperti orang menggiring ternak ke kandang. Setelah itu, Syamsudin sering menghilang sehingga penduduk desa menyebutnya Syamsudin, Tuanku Nan Hilang.“ Demikian penjelasan Bapak itu mengenai Batu Talempong, batu yang bisa berbunyi seperti alat musik talempong jika dipukul. Namun, bukan sembarangan dipukul, lo. Sebelumnya harus dibakarkan kemenyan putih dulu, baru ada suaranya.
Yah, waferku sudah habis. Tenang, masih ada kerupuk. Pluk. Kubuang bungkus waferku ke tanah. Bret...bret! Aku membuka bungkus kerupuk.
“Krauk krauk… kres kres...” Aku semakin lahap mengunyah kerupukku. Aku sama sekali tidak tertarik dengan kisah batu talempong. Paling itu hanya bohong-bohongan saja. Aku melirik adikku, Nina, yang menatap batu itu dengan penuh minat. Ah, dasar masih anak-anak. Dibohongi, mau saja!
“Kres..kres..kres...” Aku kembali mengunyah.
“Hus, Dino!” Kakak sepupuku, Tino, menyikut perutku.
“Apa sih?” Dengusku sambil balas menyikutnya. Rombongan kami mulai bergerak meninggalkan objek wisata Batu Talempong itu.
“Jangan berisik. Makan saja, kok, ramai betul. Nanti Syamsudin, Tuanku Nan Hilang marah, lo!”
“Ah, kamu sama saja dengan Nina. Percaya saja!” kataku sambil membuang bungkus kerupukku ke rumput. Lalu, aku beranjak mengikuti rombonganku.
“Fhwaah capeeek...” keluhku sambil menjatuhkan diri ke atas sofa kamar hotel kami. Hari sudah sore kami sudah bepergian seharian menyusuri Sumatera Barat nan luas. Sejuknya AC hotel mulai membuaiku. Mataku mulai berat. Masih terlihat olehku Kak Tino dan Nina yang sibuk membantu ibu menurunkan oleh-oleh hasil belanja hari ini.
“Hoaaaaahhhmm…” aku menguap. Tak berapa lama kemudian aku tertidur.
Aku merasa ada sesuatu yang mengusik pipiku. “Uh... mengganggu orang tidur saja,” pikirku. Aku menggaruknya dengan tidak sabaran. Benda itu semakin keras mengusik pipiku. Kresek... kresek... Eh, sekarang malah ada suaranya. Terpaksa deh aku bangun. Aku menemukan bungkus wafer di bantalku.
“Ih...!siapa sih yang iseng, buang bungkus wafer di bantalku?” Sambil bersungut-sungut, kubuang bungkus wafer itu ke lantai dan kembali tidur.
Belum lama aku tertidur aku merasa hidungku gatal. Tanpa membuka mata, aku menggosok hidungku. Nah, beres. Eh kok gatal lagi?
“Ha...ha...Hetschoo!” Aku terbangun akibat bersinku. Aku membuka mata dan menemukan plastik pembungkus kerupuk mengusik hidungku. Lo, kok, plastik pembungkus kerupuk? Aku mulai curiga. Pasti Kak Tino dan Nina, nih, yang menjahiliku.
Aku melihat ke sekelilingku. Aku sendirian di kamar hotel yang mulai gelap dalam keremangan sore.
“Dong!” Sayup-sayup terdengar bunyi benda dipukul. Suaranya seperti suara batu talempong tadi itu! Tak ayal, aku merasakan bulu kudukku berdiri. Hiii! Cepat-cepat aku nyalakan lampu kecil di samping sofaku. Fhufh.. Setelah terang, aku bisa berpikir jernih. Pasti lagi-lagi Kak Tino dan Nina nih yang nakal membunyikan talempong segala. Dipikir mereka aku ini sama penakutnya dengan mereka, ya, percaya saja dengan dongengan batu talempong!
Tiba-tiba terdengar suara bisikan, “Batu-batuku...berjalanlah...” Wah, hebat juga Kak Tino dan Nina. Suara mereka bisa terdengar begitu mistis. “Dong...dong…” Terdengar lagi suara talempong bersahut-sahutan.
“Berjalanlah batu-batuku...ke bukit Talang Anau.” Suara bisikan itu lagi!
Mataku menjelajahi isi kamar. Hmm…mereka bersembunyi di mana, ya? Aku berdiri dari sofa dan kresek! Lo, apa ini? Kok lantai kamarku penuh sampah-sampah bekas bungkus makanan? Wah, benar-benar keterlaluan Kak Tino dan Nina. Selain menakut-nakutiku, mereka juga nyampah di kamarku. Huh!
Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang bergerak di belakangku. Aku menengok ke belakang dan berhadapan dengan sesosok putih melambai-lambai. Terlihat mengerikan dengan sinar lampu meja yang temaram. “Huuuu...” Lolong sosok putih itu diiringi bunyi talempong.
“Aaaaahh!!” Tak tahan aku menjerit juga.
Sesosok putih itu tertawa mendengar jeritanku. Seperti yang sudah kuduga. Kak Tino dan Nina menjahiliku! Kak Tino yang bersuara mistis, Nina yang memukul talempong suvenir kecil yang tadi dibelinya.
“Ah! Kalian ini nakal-nakal sekali!” sambarku sewot.
“Hahaha.. katanya tidak takut dengan Syamsudin, Tuanku Nan Hilang!” ejek Kak Tino.
“Tadi itu kaget, bukan takut!” Aku berusaha membela diri. “Sudah, sudah.. gak lucu! Nih, lihat kamarku jadi kotor begini. Ayo bereskan! Nyampah, kok, di kamar orang.”
“ Lo, Nina nggak buang sampah di kamar Kak Dino, kok!”
“Aku juga,” timpal Kak Tino sambil mengamati sampah-sampah di kamarku. “Lo, ini kan bungkus coklat yang kamu bawa masuk ke Lubang Jepang.” Katanya sambil mengambil bungkus coklat itu.
Aku memeriksa bungkus coklat itu. Betul juga, itu coklat oleh-oleh tanteku dari Australia, tidak dijual di sembarang tempat. Aku memakan coklat itu di Lubang Jepang.
“Terus ini, kan, kotak susu moka Kak Dino waktu di Bukittinggi. Lihat, ini coretan Nina tadi pagi.” Nina mengulurkan kotak susu moka kosong yang ada coretan Nina.
Aku tertawa kecil. “Wah...kalian ini niat sekali menjahili aku. Sampai mengumpulkan semua sampahku!”
“Tentu saja tidak. Kami, kan, tidak ikut masuk Lubang Jepang. Kamu masuk sendirian tadi. Dari mana kami bisa mendapatkan bungkus cokelat itu?” sahut Kak Tino dengan wajah sama bingungnya.
Aku terdiam. Kalau bukan mereka, siapa dong yang memunguti dan mengembalikan sampah-sampah itu kepadaku? Di kejauhan terdengar bunyi talempong ditabuh. Kutatap tangan Kak Tino dan Nina, tangan mereka sama sekali tidak berada di dekat talempong kecil itu. Samar-samar tercium bau kemenyan putih.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.