Pagi itu, Alina keheranan melihat Lila sahabatnya. Biasanya Lila selalu riang gembira. Kali ini, Lila termenung sedih. Pandangannya kosong. Sesekali Lila menundukkan wajahnya dan mengusap matanya.
“Lila, kamu kenapa, sih? Sakit gigi, ya?” tebak Alina.
Lila tidak menjawab. Ia malah memalingkan wajah. Tak lama kemudian terdengar isak tangisnya. Lila menangis.
“Ada apa, sih? Kamu biasanya selalu ceria,” tegur Alina lagi.
“Huhuhu… Aku sedih sekali. Minggu depan ayahku berulang tahun. Aku ingin memberikan kado untuk Ayah. Tetapi uang tabunganku tidak cukup,” jawab Lila
“Memangnya kamu mau memberi apa?” tanya Alina
“Aku mau memberikan baju batik sutra. Aku tahu ayahku ingin baju itu. Waktu kami ke pusat perbelanjaan, Ayah berhenti di depan baju itu. Dia beberapa kali memegang-megang kainnya. Ayah sepertinya mau mencoba baju itu tetapi tidak jadi karena Ibu sudah memanggil kami untuk pulang,” cerita Lila panjang lebar.
Alina tahu, Lila sangat dekat dengan ayahnya. Mereka sering pergi bersama di akhir pekan. Ibu Lila tidak ikut karena mengurus adik-adiknya yang masih kecil. Lila dan ayahnya juga sering melukis bersama. Mereka tidak hanya melukis di atas kanvas, lo. Lila dan ayahnya sering melukis di barang-barang bekas. Banyak sekali hasil karya mereka yang menjadi bagian rumah mungil Lila.
“Harga bajunya berapa? Uang tabunganmu sekarang sudah berapa?” tanya Alina.
“Harga bajunya 500 ribu, sedangkan tabunganku hanya 180 ribu,” jawab Lila dengan sedih.
“Hah? Mahal sekali,” seru Alina.
Semula Alina ingin memberikan uang tabungannya untuk sahabatnya itu. Alina mengurungkan niatnya ketika mendengar harga kado yang mau dibeli oleh Lila. Alina belum tahu jumlah tabungannya karena disimpannya dalam celengan. Namun dia sudah bisa menebak kalau jumlahnya tidak akan sebesar tabungan Lila. Alina hanya menabung paling banyak 1000 rupiah setiap harinya. Kedua sahabat itu terdiam. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.