Dahulu kala, di sebuah negeri, terdapat Gunung Kaca. Seperti namanya, Gunung Kaca adalah sebuah gunung yang terbuat dari kaca. Di atas gunung ini, berdiri sebuah kastil yang terbuat dari emas murni. Di depan kastil itu, tumbuh sebatang pohon apel yang berbuah emas.
Siapapun yang berhasil memetik apel emas ini, bisa masuk ke dalam kastil emas. Di dalam salah satu menara kastil itu, ada seorang putri cantik bernama Danika.
Sebetulnya, kastil emas itu milik Putri Danika. Namun seorang penyihir mengurung Putri Danika di dalam kastil itu. Seekor elang dan naga besar menjaga kastil itu sehingga Putri Danika tak bisa keluar. Gunung tempat kastil itu berada, disihir menjadi Gunung Kaca.
Ketika penyihir itu meninggal, Putri Danika tetap terkurung di dalam kastilnya. Ia hanya ditemani oleh hartanya, berupa batu-batu permata di bawah tanah kastilnya.
Kabar tentang Putri Danika yang terkurung di kastilnya, menyebar sampai ke seluruh dunia. Banyak pangeran maupun pemuda biasa datang dari negeri yang jauh untuk mencoba keberuntungan mereka. Berbagai cara mereka gunakan untuk bisa mendaki Gunung Kaca itu. Tentu saja agar bisa membebaskan putri cantik itu.
Sayangnya, kuda mereka selalu tergelincir turun. Meskipun kuku kuda mereka sudah tajam, tidak ada yang berhasil mendaki walau hanya setengah perjalanan. Semua kuda para pemuda itu tergelincir jatuh ke dasar gunung yang licin, atau ke jurang curam di tepian gunung. Banyak pangeran dan pemuda biasa yang menjadi korban.
Putri Danika tak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya menatap sedih para pemuda yang mencoba menolongnya, dari jendela menara kastil.
Kini, hampir tujuh tahun lamanya Putri Danika terkurung dan menunggu untuk dibebaskan. Ia hampir putus asa, karena sudah banyak sekali pemuda yang bergelimpangan jatuh dan cedera di sekitar kaki Gunung Kaca.
Dalam tiga hari lagi, tujuh tahun akan berakhir. Di hari itu, datanglah seorang pangeran yang mengenakan baju zirah dari emas. Ia tampak sangat gagah dan kuat. Begitu juga dengan kuda besar yang ditungganginya.
Pangeran berbaju zirah emas itu memacu kudanya mendaki gunung. Dengan langkah mantap, kuda itu berderap mendaki Gunung Kaca. Namun, di tengah jalan, kuda itu tergelincir turun juga. Kuda yang perkasa itu mencoba menahan kakinya di permukaan gunung es. Namun karena sangat licin, ia terus merosot sampai ke bawah. Pangeran itu gagal walau ia tidak terjatuh dan terluka.
Keesokan harinya, pangeran berbaju zirah emas itu mencoba sekali lagi. Ia mengganti tapal kudanya dengan tapal besi bergerigi tajam. Kuda itu kini bisa mendaki lebih cepat. Ada percikan api yang keluar dari tapal kudanya setiap kali ia menginjakkan kakinya ke permukaan es. Semua pemuda lainnya menatap takjub padanya dari bawah gunung.
Beberapa saat kemudian, pangeran berbaju zirah emas akhirnya hampir mencapai puncak gunung. Ia pasti bisa mencapai pohon apel emas. Namun tiba-tiba, seekor elang besar terbang dengan sayapnya yang sangat lebar. Itulah elang penjaga kastil. Sayapnya yang lebar itu menyambar kepala si kuda.
Hewan yang gagah itu terdiam sebentar, berusaha menjaga keseimbangannya. Namun beberapa waktu kemudian, kaki belakangnya tergelincir. Kuda dan pangeran berbaju zirah emas itu akhirnya terjatuh bersama ke sisi gunung yang curam. Pangeran itu tergeletak di dasar gunung di dalam baju zirah emasnya.
Sekarang, tinggal satu hari lagi sebelum penutupan tahun ketujuh Putri Danika dikurung.
Hari itu, datanglah seorang pemuda biasa bernama Mikolai. Ia periang, bertubuh kuat, dan terbiasa bekerja keras. Mikolai melihat betapa banyak pemuda yang bergelimpangan jatuh ke dasar gunung emas. Namun itu tidak membuat hatinya takut untuk mendaki Gunung Emas.
Sudah lama Mikolai mendengar cerita dari orang tuanya tentang Putri Danika yang terkurung di menara kastil Gunung Emas. Ia pun bertekad hari itu untuk membebaskan sang putri.
Sebelum datang ke gunung itu, Mikolai pergi ke hutan. Ia bermaksud berburu singa untuk mendapatkan cakarnya. Namun ia malah menemukan seekor lynx yang tergeletak mati karena ditembak pemburu. Lynx itu memiliki cakar yang panjang dan tajam.
Mikolai lalu memotong kuku-kuku lynx yang tajam itu, dan mengikatnya ke tangan dan kakinya sendiri. Dengan cakar-cakar lynx itu, ia lalu dengan berani mulai mendaki Gunung Kaca.
Matahari hampir terbenam, namun ia belum mencapai setengah jalan menuju puncak Gunung Kaca. Ia hampir tak bisa menarik napas karena sangat lelah. Mulutnya kering karena haus.
Awan hitam besar melintas di atas kepalanya, tetapi sia-sia dia memohon agar awan itu mau meneteskan air ke atasnya. Mikolai membuka mulutnya, tetapi awan hitam itu bergerak melewatinya dan tidak setetes pun embun dijatuhkan untuk membasahi bibirnya yang kering.
Kaki Mikolai mulai luka dan berdarah. Kini ia bertahan dengan tangannya. Malam pun tiba dan dia menajamkan penglihatannya untuk melihat puncak gunung. Mikolai lalu menatap ke bawah. Ia mulai ngeri karena yang tampak hanyalah jurang gelap. Namun ia menguatkan hatinya. Mikolai tetap mendaki dengan hati-hati.
Malam semakin larut. Bulan dan bintang menghiasi angkasa. Pantulannya juga menghiasi Gunung Kaca. Suasana tampak indah dan seram.
Mikolai yang malang masih menempel di permukaan Gunung Kaca, seolah terpaku di situ. Tangannya sudah lelah. Ia tidak berusaha untuk mendaki lebih tinggi lagi. Semua kekuatannya telah lenyap. Mikolai bermaksud mengumpulkan kekuatannya lagi.
Beberapa saat kemudian, ia tertidur karena lelah. Meski tertidur, cakar tajamnya tetap tertancap dalam di Gunung Kaca, sehingga ia tidak terjatuh. Sementara itu, di puncak Gunung Kaca, tampak pohon apel emas yang masih dijaga oleh elang. Elang itulah yang tadi berhasil menggulingkan pangeran berbaju zirah emas serta kudanya.
Bulan pun muncul dari awan. Elang tadi terbang dari pohon apel emas. Ia mulai menjalankan tugasnya, terbang mengelilingi Gunung Kaca.
Pada saat itu, elang itu melihat Mikolai yang sedang tertidur bergelantungan di permukaan gunung. Elang ini mengira itu pasti salah satu pemuda yang telah meninggal. Maka, ia terbang menukik ke arah Mikolai. Pada saat yang sama, Mikolai terbangun dan melihat elang itu. Ia malah mendapat ide.
Elang itu terbang semakin rendah, siap menancapkan cakarnya ke tubuh Mikolai. Namun Mikolai segera menyambar kaki burung itu dengan kedua tangannya. Makhluk besar itu mengangkat Mikolai tinggi-tinggi ke udara dan mulai mengelilingi menara kastil. Mikolai tetap bertahan dengan berani.
Dari atas, Mikolai melihat kastil yang berkilauan kena pantulan sinar pucat bulan. Tampak bagaikan lampu redup. Ia melihat jendela-jendela di menara kastil yang tinggi. Elang itu mengitari salah satu menara dan di balkonnya tampak Putri Danika sedang duduk dengan wajah sedih.
Mikolai lalu melihat di dekatnya ada pohon apel emas. Mikolai buru-buru melepaskan pegangannya pada kaki elang.
Burung itu naik ke udara tanpa tahu kalau penumpang gelapnya telah turun. Mikolai jatuh ke dalam dahan pohon apel emas. Ia memetik sebutir apel. Dan mengupasnya dengan pisau kecil yang dibawanya. Ia segera memakan apel itu dan kekuatannya pun pulih kembali.
Mikolai lalu memetik beberapa buah apel emas lagi dan memasukkannya ke sakunya. Saat akan melewati gerbang kastil, tampak ada seekor naga besar berjaga-jaga. Mikolai melempar apel emas ke arah naga itu. Seketika, hewan besar itu lenyap menjadi asap
Pada saat yang sama, sebuah gerbang terbuka. Mikolai melihat halaman yang luas di dalam kastil. Dipenuhi bunga dan pohon-pohon yang indah. Dari balkon menara, Putri Danika melihat ke arah Mikolai dengan pandangan kagum. Sang putri cantik lalu berlari turun dari menara dan menyambut Mikolai. Ia mengajak Mikolai masuk ke dalam kastil. Ia menghadiahkan semua harta karunnya pada pemuda yang berhasil membebaskannya.
Akan tetapi, Mikolai tidak bisa turun dari Gunung Kaca dengan membawa semua hadiah harta itu. Hanya elang besar yang bisa membawanya turun. Namun, elang besar itu tidak menjaga kastil lagi. Setelah Mikolai berhasil mengambil apel emas, kekuatan sihir pada elang itu pun hilang.
Warga setempat menemukan elang itu tergeletak mati di sebuah hutan yang tak jauh dari Gunung Kaca. Elang besar itu lalu berubah menjadi asap biru yang sangat banyak. Gumpalan-gumpalan asap itu bagaikan awan yang terbang rendah di bawah kaki Gunung Kaca.
Mikolai dan Putri Danika berjalan ke tepi jurang Gunung Kaca. Mereka melongok ke bawah gunung dan melihat sejumlah besar orang sedang berkumpul di sana. Putri Danika penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi. Ia lalu mengutus burung layang-layang pembawa pesan.
“Terbanglah ke bawah dan tanyakan ada yang terjadi di sana,” kata Putri Danika pada burung kecil itu.
Burung layang-layang itu terbang melesat turun ke kaki gunung. Ia lalu kembali lagi dan membawa pesan,
“Elang besar telah mati dan berubah menjadi asap biru. Gumpalan asap bagai awan itu melintasi para pangeran dan pemuda yang terluka karena tergelincir dari Gunung Kaca. Kini mereka semua telah pulih kembali seperti semula. Mereka semua bergembira karena keajaiban di kaki gunung.”
Betapa leganya Putri Danika mendengar berita itu. Mikolai juga gembira. Ia memutuskan untuk tidak turun dari gunung itu dan menemani Putri Danika. Beberapa waktu kemudian, mereka menikah dan hidup bahagia di kastil di puncak Gunung Kaca.
(Tamat)
Teks: Dok. Majalah Bobo / Dongeng Polandia