Bapak mempercepat tangannya dalam menyiapkan tekwan. Hingga tak berselang beberapa lama, satu pesanan pelanggan pertama sudah bisa dibawa pulang.
“Duduk istirahat dulu Ras,” kata Bapak. Laras menemani Bapak, duduk bersebelahan.
“Semoga jualan hari ini laku ya, Pak, tidak seperti kemarin,” kata Laras. Bapak menatap Laras.
“Yang penting kita berusaha Ras. Kalaupun belum banyak yang beli, mungkin kita harus berusaha lagi,” kata Bapak.
Bapak dan Laras memang baru-baru ini pindah tempat berjualan. Taman kota tempat mereka berjualan sedang direnovasi sehingga para pedagang harus mencari tempat baru.
“Kemarin, bukannya laku, malah dipalak preman sampai habis,” kata Laras kesal mengingat kejadian kemarin. Sampai-sampai ia hanya kebagian sedikit tekwan untuk berbuka puasa. Laras dan Bapak makan semangkuk tekwan dengan perasaan sedih. Bahkan, jualan hari ini pun harus berhutang.
“Hush! Sudah-sudah, Ras. Kita ikhlas saja. Anggap saja beramal.” Bapak memang begitu sabar dan tegar.
Sudah pukul 17.00 tetapi belum ada pembeli lagi. Laras menatap penjual di sisi lain jalan juga tampak sepi. Laras mengalihkan pandangan pada Bapak, ia menemukan Bapak tetap tersenyum. Bapa mendendangkan lagu-lagu yang ceria. Hal itu membuat Laras tersenyum.
Laras kembali menatap jalan. Sekarang matanya menatap dengan terkejut. Ia melihat salah seorang preman yang kemarin datang dan menghabiskan jualan mereka bersama teman-temannya.
BACA JUGA: Idul Fitri Pertama di Rumah Baru
“Pak! Pak! Ada orang jahat yang kemarin!” kata Laras mendekati Bapak dengan wajah takut. Walaupun ia marah, tetapi sebenarnya ada rasa takut karena orang yang datang bertubuh besar dan kekar.
Bapak menengok ke arah jalanan. Orang itu semakin mendekat. Bapak berkomat-kamit mengucap doa. Laras mengikutinya.