“Ras, ayo kita jalan,” kata Bapak yang sudah menunggu di depan rumah. Laras bergegas memakai sandal dan mengangkat tas bawaannya.
Laras mengikuti langkah Bapaknya. Saat itu, beberapa kali suara gemuruh langit terdengar.
“Pak, ayo kita lebih cepat.” Laras ketakutan akan suara-suara langit yang keras.
Bapak hanya tersenyum. “Nanti kamu lelah, buka puasanya masih beberapa jam lagi.”
“Tapi apa kita tidak kehujanan nanti, Pak? Laras tahan, kok, walaupun lelah, daripada kehujanan. Nanti dagangan kita jadi basah,” kata Laras bersemangat.
Bapak mengangguk dan mengikuti langkah Laras yang semakin cepat.
Laras dan Bapak menyusun tempat berjualan. Tenda kecil sudah terpasang, tinggal menata kursi yang jadi tugas Laras. Bapak mempersiapkan bahan-bahan untuk berjualan.
“Pak, mau tekwan satu,” kata seseorang yang menghampiri mereka.
“Wah, boleh tunggu sebentar, Mas? Baru saja bersiap-siapa ini,” kata Bapak tersenyum ramah.
“Tidak apa, buka puasa masih lama. Dibungkus, ya,” katanya.
“Silakan duduk, Mas,” kata Laras ramah pada pembeli.
BACA JUGA: Kisah Mesin Jahit Tua
Bapak mempercepat tangannya dalam menyiapkan tekwan. Hingga tak berselang beberapa lama, satu pesanan pelanggan pertama sudah bisa dibawa pulang.
“Duduk istirahat dulu Ras,” kata Bapak. Laras menemani Bapak, duduk bersebelahan.
“Semoga jualan hari ini laku ya, Pak, tidak seperti kemarin,” kata Laras. Bapak menatap Laras.
“Yang penting kita berusaha Ras. Kalaupun belum banyak yang beli, mungkin kita harus berusaha lagi,” kata Bapak.
Bapak dan Laras memang baru-baru ini pindah tempat berjualan. Taman kota tempat mereka berjualan sedang direnovasi sehingga para pedagang harus mencari tempat baru.
“Kemarin, bukannya laku, malah dipalak preman sampai habis,” kata Laras kesal mengingat kejadian kemarin. Sampai-sampai ia hanya kebagian sedikit tekwan untuk berbuka puasa. Laras dan Bapak makan semangkuk tekwan dengan perasaan sedih. Bahkan, jualan hari ini pun harus berhutang.
“Hush! Sudah-sudah, Ras. Kita ikhlas saja. Anggap saja beramal.” Bapak memang begitu sabar dan tegar.
Sudah pukul 17.00 tetapi belum ada pembeli lagi. Laras menatap penjual di sisi lain jalan juga tampak sepi. Laras mengalihkan pandangan pada Bapak, ia menemukan Bapak tetap tersenyum. Bapa mendendangkan lagu-lagu yang ceria. Hal itu membuat Laras tersenyum.
Laras kembali menatap jalan. Sekarang matanya menatap dengan terkejut. Ia melihat salah seorang preman yang kemarin datang dan menghabiskan jualan mereka bersama teman-temannya.
BACA JUGA: Idul Fitri Pertama di Rumah Baru
“Pak! Pak! Ada orang jahat yang kemarin!” kata Laras mendekati Bapak dengan wajah takut. Walaupun ia marah, tetapi sebenarnya ada rasa takut karena orang yang datang bertubuh besar dan kekar.
Bapak menengok ke arah jalanan. Orang itu semakin mendekat. Bapak berkomat-kamit mengucap doa. Laras mengikutinya.
“Pak, mau tekwan untuk berbuka puasa,” kata preman itu.
“Be.. be.. ra.. pa?” tanya Bapak gugup.
“Lima puluh porsi,” jawab orang itu sambil duduk.
“Da…!” Belum sempat Laras mengumpat, Bapak sudah menarik tangannya. “Ssst, sudah… Ini bulan puasa. Belum tentu ia jahat,” bisik Bapak.
Dengan cekatan Bapak membuatkan lima puluh porsi pesanan orang yang sekarang sedang sibuk membaca koran yang disediakan di atas meja.
Hujan turun, semakin lama semakin deras. Orang itu berpindah agak ke dalam agar tidak terkena cipratan hujan.
Sembari membuat lima puluh bungkus tekwan, Bapak memperhatikan bahan-bahan yang tersisa. Semuanya hampir habis. Tidak boleh habis karena Laras nanti tidak bisa berbuka puasa. Lagi pula uang mereka tingga Rp 20.000 dari pembeli tekwan yang pertama tadi. Bapak menyisakan semangkuk tekwan untuk Laras karena sebentar lagi akan berbuka puasa.
BACA JUGA: Kebaikan Hati Berbuah Mangga Manis
“Mas, ini 50 bungkus tekwan sesuai pesanan,” kata Bapak. Ia tetap tersenyum pada orang itu, masih berharap kali ini tidak ada lagi musibah seperti kemarin.
“Berapa sebungkusnya?” tanya orang itu.
“Dua puluh ribu, Mas,” jawab Bapak.
“Mahal juga,” katanya dengan suara agak meninggi. Sekali lagi Laras ingin mengumpat tetapi dihalangi Bapak.
“Ini, satu juta untuk 50 bungkus. Ini tambahan lima ratus ribu untuk makan kemarin. Kalau kurang, ya, maaf,” kata orang itu langsung meninggalkan gerobak Bapak membawa 50 bungkus tekwan.
Laras dan Bapak bengong menatap orang itu. Keduanya saling pandang, masih dengan wajah terkejut.
“Nak, rejeki memang Allah yang atur,” kata Bapak sambil mengelus rambut Laras.
Laras mengangguk dan memeluk Bapak. Hujan masih belum reda.
Suara bedug tanda berbuka puasa terdengar. Bapak teringat semangkuk tekwan yang disisakannya.
“Ras, kita makan ini dulu untuk berbuka, ya. Masih ada semangkuk. Setelah itu, kita cari makanan lain.”
Laras tersenyum,”Yuk, makan berdua, Pak! Laras mau makan dengan Bapak. Laras mau jadi baik seperti Bapak,” kata Laras.
Laras dan Bapak makan semangkuk tekwan berdua. Jika kemarin tekwan dimakan dengan sedih karena dipalak, tetapi sekarang mereka makan dengan hati lega.
Buka puasa hari ini, begitu istimewa untuk Laras dan Bapak.