Malam jatuh menyelimuti bumi. Hujan turun rintik-rintik. Padepokan Ngudi llmu lebih benderang daripada biasanya. Di pendapa, Ki Ajar dan murid-muridnya duduk rapi berbincang-bincang dengan Patih Setanagara.
Sesekali terdengar derai tawa. Pertemuan itu langsung akrab. Hanya Aryo Luhurbudi yang tidak tampak. Namun, tak seorang pun menyadari ketidakhadiran anak itu.
Tengah malam, pertemuan usai. Masing-masing pergi tidur. Hujan lebat pun berhenti. Bulan yang semula tertutup awan tersembul pelan. Sinarnya yang putih keperakan dipantulkan butiran air hujan yang menempel di dedaunan. Indah sekali.
Patih Seta mengurungkan niatnya tidur. Ia ingin menengok bekas kamarnya dulu. Pelan ia berjalan ke samping kanan.
Di kegelapan malam matanya yang terlatih menangkap sosok bayangan. Dengan berjingkat Patih mendekat. Tenyata seorang pemuda duduk memeluk lutut. Tatapan matanya begitu sedih.
Baca Juga: Apakah Kemampuan Menyanyi dengan Suara yang Merdu Itu Keturunan?
"Kau tidak tidur?" sapa Patih.
"Aku tidak mengantuk," jawab pemuda yang tak lain Aryo. la mengira yang datang temannya. Aryo mendesah sedih.
"Kenapa kau bersedih?"
"Telah berbulan-bulan aku di sini. Namun, belum satu pun pelajaran aku kuasai. Teman-teman mencemoohku. Kenapa aku bodoh sekali?" gumam Aryo menyesali diri.
Baca Juga: Memiliki Mesin yang Berbeda, Ketahui Berbagai Jenis Kereta, yuk!
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Bobo.id |
KOMENTAR