Bobo.id - Hai teman-teman, pasti sudah tidak sabar menunggu dongeng anak hari ini, ya?
Dongeng anak hari ini berjudul Penasihat Raja.
Yuk, langsung saja kita baca dongeng anak hari ini!
---------------------------------------------
Baca Juga: Dongeng Anak: Permintaan Putri Melisma
Malam sunyi dan dingin. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda memecah keheningan. Ki Ajar Windujati yang sedang membaca menghentikan kegiatannya. Ia membesarkan nyala pelita dan menajamkan pendengarannya.
Derap kaki kuda itu semakin dekat dan akhirnya berhenti di depan gerbang Padepokan Ngudi llmu. Tak lama kemudian terdengar ketukan di pintu kamar. Ki Ajar bangkit membuka pintu.
"Ada pengawal Patih ingin bertemu," kata penjaga gerbang.
Baca Juga: Dongeng Anak: Mengapa Burung Beo Selalu Meniru Suara
Ki Ajar berjalan ke pendapa dengan berdebar-debar. Apa yang terjadi? Biasanya bila pengawal Patih datang, pasti telah terjadi sesuatu yang genting.
"Selamat malam, Ki. Kami pengawal Patih Setanagara diutus menyampaikan surat ini," salah seorang pengawal menyerahkan gulungan surat.
Pelan Ki Ajar membuka surat dan membaca dengan teliti. Sesaat kemudian kecemasan terhapus dari wajahnya yang keriput.
Surat itu mengabarkan Patih akan bermalam di Padepokan usai berkunjung ke dusun Warih esok malam.
Ia mohon kedatangannya dirahasiakan karena tidak ingin diganggu hiruk-pikuk upacara penyambutan rakyat.
Baca Juga: Antara Roti Gandum dan Roti Tawar Putih, Mana yang Lebih Baik untuk Tubuh, ya?
Ki Ajar mengambil kertas. Ia menuliskan beberapa baris kalimat dan menyerahkan pada pengawal Patih.
"Sampaikan surat ini pada Patih," ujarnya pendek.
Esoknya, pagi-pagi sekali Ki Ajar menyuruh semua muridnya membersihkan padepokan.
"Nanti malam ada tamu. Aku ingin padepokan kita terlihat lebih bersih," ucap Ki Ajar.
Baca Juga: Hati-Hati, 7 Bakteri Ini Bisa Menyebabkan Kita Keracunan Makanan, lo!
Para murid pun melaksanakan tugas meskipun hatinya bertanya-tanya. Siapa gerangan yang akan datang? Mengapa mereka harus melakukan persiapan khusus? Sambil bekerja mereka menduga-duga sendiri.
"Mungkin murid Ki Ajar yang sudah menjadi petinggi negara," jawab Putut ketika Aryo Luhurbudi menanyakan tamu Ki Ajar.
"Kalau bukan pejabat, tidak mungkin Ki Ajar menyuruh kita begini. Bukankah setiap hari kita sudah membersihkan padepokan?" tambah Putut meyakinkan. Aryo pun mengangguk-angguk.
Baca Juga: 4 Manfaat Daun Zaitun, Salah Satunya Baik untuk Kesehatan Jantung, lo
Sementara teman-temannya sibuk bekerja, diam-diam Aryo menyelinap pergi. Ia gelisah. Jika benar yang datang adalah kakak kelas padepokan yang telah berhasil, wah, gawat.
Para lulusan yang datang punya kebiasaan menguji adik-adik kelas mereka di padepokan itu. Mereka sering memberi pertanyaan tentang pelajaran di padepokan.
Sebetulnya pertanyaan mereka bukan untuk mengetes sungguhan. Namun, bila tidak dapat menjawab, malu juga.
Telah berbulan-bulan Aryo menjadi murid di padepokan. Namun, belum satu pelajaran dasar pun ia kuasai. Ia memang agak lamban.
Sementara teman-temannya sudah menguasai kitab lanjutan. Ah, bagaimana nanti bila ditanya tamu yang datang?
Baca Juga: Tidak Hanya Indah, Ternyata Gigi Sehat Juga Ada Manfaatnya, lo!
Malam jatuh menyelimuti bumi. Hujan turun rintik-rintik. Padepokan Ngudi llmu lebih benderang daripada biasanya. Di pendapa, Ki Ajar dan murid-muridnya duduk rapi berbincang-bincang dengan Patih Setanagara.
Sesekali terdengar derai tawa. Pertemuan itu langsung akrab. Hanya Aryo Luhurbudi yang tidak tampak. Namun, tak seorang pun menyadari ketidakhadiran anak itu.
Tengah malam, pertemuan usai. Masing-masing pergi tidur. Hujan lebat pun berhenti. Bulan yang semula tertutup awan tersembul pelan. Sinarnya yang putih keperakan dipantulkan butiran air hujan yang menempel di dedaunan. Indah sekali.
Patih Seta mengurungkan niatnya tidur. Ia ingin menengok bekas kamarnya dulu. Pelan ia berjalan ke samping kanan.
Di kegelapan malam matanya yang terlatih menangkap sosok bayangan. Dengan berjingkat Patih mendekat. Tenyata seorang pemuda duduk memeluk lutut. Tatapan matanya begitu sedih.
Baca Juga: Apakah Kemampuan Menyanyi dengan Suara yang Merdu Itu Keturunan?
"Kau tidak tidur?" sapa Patih.
"Aku tidak mengantuk," jawab pemuda yang tak lain Aryo. la mengira yang datang temannya. Aryo mendesah sedih.
"Kenapa kau bersedih?"
"Telah berbulan-bulan aku di sini. Namun, belum satu pun pelajaran aku kuasai. Teman-teman mencemoohku. Kenapa aku bodoh sekali?" gumam Aryo menyesali diri.
Baca Juga: Memiliki Mesin yang Berbeda, Ketahui Berbagai Jenis Kereta, yuk!
Patih tersenyum mendengamya. Ia duduk di sebelah Aryo.
"Anak muda, dua puluh tahun silam seorang pemuda duduk di sini mengeluh persis seperti kamu. Waktu itu hujan rintik-rintik. Ia menatap air cucuran atap yang jatuh di atas batu hitam itu," ujar Patih seraya menunjuk batu hitam di depannya.
"Ia berpikir batu hitam yang keras pun berlubang karena cucuran air yang terus-menerus tanpa jemu. Belasan tahun kemudian ia menjadi Patih di negeri ini. Pemuda itu aku." Aryo terperangah. Ia mengubah duduknya lebih sopan. Matanya menatap Patih Seta tak percaya.
Baca Juga: Keren, Ada Perpustakaan Besar di Salah Satu Mal di Korea! #AkuBacaAkuTahu
"Dulu teman-teman juga mencemoohku. Nah, jangan berkecil hati. Jika kau bersungguh-sungguh pasti berhasil."
Sejak pertemuan dengan Patih malam itu, Aryo lebih giat belajar. Kemajuannya cukup pesat. Teman-temannya heran.
Namun, Aryo tidak pernah menceritakan pertemuannya dengan Patih. Nanti kalau sudah berhasil, ia akan menceritakan pengalamannya itu kepada teman-temannya.
Beberapa tahun kemudian Raja mangkat. Putra Mahkota menggantikan kedudukannya. Ia mengangkat Aryo Luhurbudi sebagai penasihatnya.
Dua murid Padepokan Ngudi llmu telah berhasil membuktikan bahwa kerja keras dan ketekunan merupakan syarat utama meraih keberhasilan. Siapa menyusul mereka?
Cerita oleh: Mudjibah Utami. Ilustrasi: Dok. Majalah Bobo
Baca Juga: Sama-Sama Menghibur, Apa Perbedaan Anekdot dan Humor, ya? Cari Tahu, yuk!
Tonton video ini, yuk!
Hati-Hati Kandungan Gula di Minuman Manis, Bagaimana Memilih Minuman yang Tepat?
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Bobo.id |
KOMENTAR