“Hiii, banyak ular di sini?” tanya Lia dengan mimic ketakutan.
“Tidak, cuma untuk jaga-jaga saja. Paling sekalisekali ada yang tersesat atau mau berkenalan denganmu!” goda Mirna. Eni menuju ke luar, membawa sekantung plastik garam kasar. Ia menaburkan garam ke sekeliling rumah.
Saat itu aku merasakan betapa pentingnya kehadiran Eni. Padahal sebelum berangkat, kecuali Mirna, kami kurang bisa menerima kehadiran Eni. Rasanya kok, dia lain sendiri. Namun, walau pendiam, ia ternyata pandai masak. Ia bekerja tanpa banyak bicara. Ia membuat kami merasa aman.
Baca Juga: Gunung Ini Dianggap Gunung Api Purba, Apa Maksudnya?
Ketika kami masih asyik bermain ludo, tiba-tiba reeep…lampu mati.
“Aduuuuh, gelap banget, aku tak bisa melihat tanganku sendiri!” keluh Titi.
“Tak usah dilihat, diam-diam saja dulu!” kata Lia. Bulu kudukku merinding. Bagaimana kalau lampu padam sampai pagi? Tiba-tiba saja cahaya senter muncul dari arah tempat Eni duduk.
“Kalian tenang-tenang saja. Aku akan nyalakan lilin!” Kata Eni.
“Kamu bawa lilin, Ni? Hebat!” puji Mirna.
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR