Bobo.id - Hai teman-teman, pasti sudah tidak sabar menunggu cerpen anak hari ini, ya?
Cerpen anak hari ini berjudul Tak Kenal Maka Tak Sayang.
Yuk, langsung saja kita baca cerpen anak hari ini!
--------------------------------------------------------------------
Baca Juga: Cerpen Anak: Nyatakan Keinginanmu, Yuli (Bagian 1)
Aku sudah hafal peribahasa itu. Namun baru hari ini aku paham maknanya. Sungguh menyenangkan kembali ke Jakarta, setelah dua hari berlibur di Puncak, di villa Mirna. Kini aku berada kembali di kamar sendiri dengan bantal kesayanganku… Malam ini, sambil berbaring aku mengenang pengalaman selama dua hari di Puncak…
Mulanya kukira kami akan pergi berempat. Aku, Lia, Titi, dan Mirna. Kami kan empat sekawan. Tapi, rupanya ibu Mirna menyuruh Mirna mengajak Eni, si kutu buku. Maklumlah, ibu Eni dan ibu Mirna kawan akrab semasa kuliah dulu.
Baca Juga: Cerpen Anak: Nyatakan Keinginanmu, Yuli (Bagian 2)
“Wah, lima orang, jumlahnya ganjil. Nanti tidurnya bagaimana?” tanya Titi.
“Ah, mudah. Kau, Lia, dan Rika sekamar. Aku dengan Eni,” jawab Mirna.
Begitulah, dengan diantar sopir ayah Mirna, kami berangkat. Di mobil, Eni duduk di muka, sedang kami berempat di belakang.
Sementara kami sibuk berceloteh, Eni diam-diam saja. Tampaknya ia menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Setiba di villa, kami disambut Pak Musa, penjaga villa.
Baca Juga: Setelah Keramas Rambut Jadi Susah Diatur, Apa Solusinya, ya?
“Maaf, Neng. Istri Pak Musa sedang sakit. Kalau nanti malam Neng mau beli makanan di restoran, Pak Musa bisa belikan!” kata Pak Musa.
“Waaah, gawat!” kata Mirna. Ia mengerutkan kening. Tiba-tiba Eni berkata, “Tak usah beli makanan di restoran. Ibu membekaliku bahan makanan. Aku akan masak nasi dan sambal korned. Juga akan menggoreng emping. Lalapnya tolong ambilkan di kebun, ya Pak Musa!”
“Baik, Neng. Alat-alat masak ada. Beras juga ada. Bumbu dapur juga lengkap di lemari!” ujar Pak Musa.
Kami masuk ke dalam villa. Eni mencuci beras, memasak nasi. Mirna mengulek cabai dan bawang. Titi memasak air di teko. Lia membuka kaleng korned. Aku hanya menonton dan merasa bodoh sekali. Selama ini, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Ibu dan Mbok Sinah. Ternyata kawan-kawanku trampil membantu ibunya di rumah.
“Kalau mau cepat, Rika bisa menggoreng emping!” kata Mirna.
“Maaf, aku tidak bisa!” jawabku merah padam.
“Wah, gawat! Kau sama sekali tidak pernah terlibat di dapur?” kata Lia.
“Aku juga sama!” Titi membelaku. “Untung Eni ikut.
Baca Juga: Sumbang Medali Emas Pertama di SEA GAMES 2019, Apa Itu Pencak Silat?
Kalau tidak, aku pun tak sanggup masak. Aku Cuma bisa masak mi instant dan goreng telur!” Eni diam saja, ia hanya tersenyum maklum. Malam hari sesudah makan, aku membantu Mirna dan Eni mencuci piring.
Sesudah itu kami berempat bermain ludo. Eni membaca buku. Udara dingin.
“Ooooh, aku lupa. Belum menaburkan garam!” tiba-tiba Eni berkata.
“Garam? Untuk apa?” tanya Titi dengan wajah heran.
“Supaya ular tidak masuk ke rumah kita!” jawab Mirna.
“Hiii, banyak ular di sini?” tanya Lia dengan mimic ketakutan.
“Tidak, cuma untuk jaga-jaga saja. Paling sekalisekali ada yang tersesat atau mau berkenalan denganmu!” goda Mirna. Eni menuju ke luar, membawa sekantung plastik garam kasar. Ia menaburkan garam ke sekeliling rumah.
Saat itu aku merasakan betapa pentingnya kehadiran Eni. Padahal sebelum berangkat, kecuali Mirna, kami kurang bisa menerima kehadiran Eni. Rasanya kok, dia lain sendiri. Namun, walau pendiam, ia ternyata pandai masak. Ia bekerja tanpa banyak bicara. Ia membuat kami merasa aman.
Baca Juga: Gunung Ini Dianggap Gunung Api Purba, Apa Maksudnya?
Ketika kami masih asyik bermain ludo, tiba-tiba reeep…lampu mati.
“Aduuuuh, gelap banget, aku tak bisa melihat tanganku sendiri!” keluh Titi.
“Tak usah dilihat, diam-diam saja dulu!” kata Lia. Bulu kudukku merinding. Bagaimana kalau lampu padam sampai pagi? Tiba-tiba saja cahaya senter muncul dari arah tempat Eni duduk.
“Kalian tenang-tenang saja. Aku akan nyalakan lilin!” Kata Eni.
“Kamu bawa lilin, Ni? Hebat!” puji Mirna.
“Tidak, kok. Kan di laci dapur ada. Waktu kita ke sini beberapa bulan lalu, kan, mati lampu. Waktu itu aku membantu ibumu menyalakan lilin-lilin. Jadi aku sudah tahu tempatnya!” Eni menjelaskan. “Tadi aku memang sudah sedia senter. Di sini, kan, sering mati lampu, kata Pak Musa!”
“Aku tidak tahu di mana Ibu biasanya menyimpan lilin!” Mirna mengakui.
Tak lama kemudian lilin-lilin sudah dinyalakan. Kami sudah tidak berminat bermain ludo lagi. Jadi kami berkumpul di kamar dan bercerita.
Tak lama kemudian lampu menyala, tapi kami sudah mengantuk, jadi kami tidur saja. Esok paginya, ketika aku bangun, ternyata Eni sudah ada di dapur.
Baca Juga: Bolehkah Ikan Sapu-Sapu Dimakan? Yuk, Cari Tahu Faktanya!
“Kita akan sarapan dengan nasi goreng ikan asin!” kata Eni. “Aku sudah masak air panas. Ada di termos. Silakan kalau mau membuat susu atau teh!”
“Ya, aku akan buatkan teh manis untuk kita semua. Hanya ini yang aku bisa!” kataku. “Kamu pintar sekali memasak!”
“Ah, tidak juga. Aku masih belajar masak kok, sama Mama. Kita bisa melakukan apa saja kalau kita mau belajar!” kata Eni.
Dalam hati aku mencatat kata-katanya. Benar, selama ini aku tidak belajar melakukan tugas-tugas rumah tangga.
Pagi itu Ibu Musa datang. Ia sudah sembuh. Jadi kami bisa bersenang-senang tanpa memikirkan urusan makan. Kemudian kami berjalan-jalan di kebun teh. Kami berempat berceloteh, Eni diam saja.
Baca Juga: Kebiasaan Sepele Ini Ternyata Membuat Kulkas Cepat Rusak, lo!
Hanya sesekali ia mengingatkan kami agar hati-hati bila ada kotoran kuda atau jalan yang sulit ditempuh. Kami gembira dan ia juga gembira. Ketika kembali ke villa, siangnya kami bermain kwartet. Eni asyik membaca buku.…
Sebelum tidur, sesudah mengenang pengalaman itu aku bertekad untuk membantu ibu dan Mbok Isah dalam mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Aku juga akan menerima setiap orang sebagaimana adanya. Eni tak perlu bawel seperti kami berempat. Tapi Eni tetap kawan kami, tak perlu ditolak atau dijauhi.
Cerita oleh: Widya Suwarna
Tonton video ini, yuk!
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR