Suatu malam, secercah sinar memasuki sanggah. Lalu tiba-tiba menyorot ke arah jendela. Kami memekik dan berjatuhan. Terdengar langkah-langkah mendekat, lalu sinar itu menerkam kami!
“Aaaa…”
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tegur Bapak tegas. Oooh, ternyata Bapak dengan senter di tangan.
Baca Juga: Warna Air Pipis Berubah? Ternyata Bisa Dipengaruhi dari Apa yang Kita Makan
Suatu hari, kami menyandarkan sebuah tangga ke pagar tembok. Dari ketinggian, kami mengawasi keadaan di balik tembok. Di tanahnya yang luas, Dadong Griya membangun rumah-rumah kecil untuk dikontrakkan. Demas, teman Darus, bersama orang tuanya mengontrak rumah di sana. Pohon manga yang terletak di sudut tanah itu, menarik minat kami. Cabang-cabangnya yang kokoh, berbuah banyak, menjulur ke arah sanggah. Seakan menantang keberanian kami untuk memetik. Tunut, Darus, dan aku bergantian menimpuki pohon mangga itu dengan batu dan potongan kayu.
“Kalian sungguh berani!” ujar Demas yang melihat kami. “Kalau Dadong Griya marah, matanya jadi merah. Gigi Dadong panjang dan hitam, rambutnya putih semua,” jelas Demas dengan nada seram.
“Apakah kakinya menyentuh tanah?” tanyaku. Hantu tidak menyentuh tanah menurut cerita yang kudengar.
“Gila kamu, Ninis! Kau pikir aku berani melihatnya!” Demas bersungut.
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR