"Ssst...jangan berisik!" kataku memperingatkan.
Dari kejauhan tampak Pak Umang mengantar Badai hingga ke pintu pagar. Ia lalu kembali masuk ke rumah dan menutup pintu rapat-rapat.
"Ayo!" Aku dan kawan-kawan bergegas mengambil sepeda lalu mengayuh pedal perlahari. Secepat kilat Ucok menyambar topi Badai dari belakang.
“Botak! Botak! Botak!" sorak kami beramai-ramai sambil tertawa terbahakbahak. Badai tampak pucat. Ia hampir menangis di tepi pagar. Tiba-tiba pintu rumah terbuka.
Baca Juga: Jangan Salahkan Siapa-siapa Kalau Sulit Konsentrasi, Cek 5 Hal Ini yang Mungkin Jadi Penyebabnya
Astaga! Pak Umang datang! Ucok buru-buru melempar topi itu ke pinggir jalan. Lalu kami mengayuh sepeda sekencang- kencangnya.
Aku begitu terburu-buru sehingga tak memperhatikan jalan di depa Brakk! Sepedaku menabrak tiang listrik. Aku terjatuh membentur aspal. Aduh! Aku meringis kesakitan. Teman-temanku cuma bisa menonton di kejauhan. Mereka terlalu takut untuk kembali dan menolongku.
Rasa takut yang mencekam tak dapat kusembunyikan saat melihat Pak Umang mendekat. Aku mencoba beringsut sekuat tenaga, tapi kakiku tak dapat bergerak.
Pak Umang kian mendekat, jaraknya tinggal beberapa langkah. Aku berusaha mundur dengan tubuh menggigil ketakutan. Tiba-tiba Pak Umang sudah membungkuk di hadapanku.
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR