"Ampun, Pak! Ampuuun! Saya janji nggak nakal lagi, Pak!" Aku menjerit histeris, tangisku meledak.
Tiba-tiba tubuhku terasa melayang. Rupanya Pak Umang menggendongku masuk ke rumahnya. Aku pasrah. Tubuhku yang lemah dibaringkan di sofa ruang tamu.
"Badai, ambil kotak P3K!" samar-samar kudengar suara parau Pak Umang. Tak lama kemudian Badai sudah duduk di sisiku sambil membawa kotak putih dengan gambar palang merah di atasnya.
Pak Umang membersihkan luka-luka di siku tangan dan lututku dengan kapas beralkohol. Uh... sesekali aku meringis karena merasa pedih. Luka itu lalu ditutup dengan kain kasa dan plester. Luka-luka ringan lainnya diberi betadine.
Baca Juga: Simpan dan Hangatkan Makanan Sisa dengan Benar Supaya Racun Bakteri Ini Bisa Hilang, ya!
"Nggak apa-apa, sebentar lagi juga sembuh, kok! Anak laki-laki harus kuat, jangan cengeng!" hibur Pak Umang ramah. Aku menunduk malu.
"Sakit?" tanya Badai pelan, aku mengangguk mengusap air mata.
"Jangan takut, kepalaku pernah dijahit dan rasanya nggak sakit, kok."
"Dijahit! Kenapa?"
"Soalnya di kepalaku ada penyakit yang harus dioperasi dokter. Kepalaku dibedah, terus penyakitnya diangkat, setelah itu baru dijahit!" tutur Badai polos sambil membuka topinya. Ia menunjukkan bekas jahitan di belakang kepala gundulnya. Aku tertegun sambil memperhatikan bekas jahitan itu. Kini aku mengerti mengapa rambut Badai dicukur sampai plontos.
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR