Bobo.id - Demokrasi Pancasila mulai digunakan di Indonesia setelah berakhirnya era orde lama, yaitu mulai tahun 1965.
Dilansir dari Kompas.id, demokrasi Pancasila dipopulerkan pada masa kepemimpinan Soeharto (1966-1998).
Sedangkan pelaksanaan demokrasi Pancasila di era orde baru yaitu setelah terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966.
Hingga hari ini, Indonesia masih dan terus menggunakan demokrasi Pancasila, teman-teman.
Namun, tahukah kamu bahwa ada perbedaan antara demokrasi Pancasila pada masa orde baru dan reformasi?
Sebagai pengingat, periode masa Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto dimulai dari 1966 hingga 1998.
Sementara periode masa Reformasi, dimulai sejak 1998 setelah Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden.
Demokrasi Pancasila yang dilaksanakan pada masa Reformasi berbeda dengan pelaksanaan demokrasi Pancasila pada masa Orde Baru karena adanya kekurangan yang harus diperbaiki.
Kali ini, Bobo akan mengajak kamu mengetahui apa saja kekurangan yang terjadi pada Demokrasi Pancasila di era Orde Baru.
Artikel ini dapat digunakan untuk menambah informasi tentang materi pelaksanaan Demokrasi Pancasila di pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Kekurangan Demokrasi Pancasila Era Orde Baru
Baca Juga: Pengertian Demokrasi Menurut Para Ahli, Lengkap dengan 10 Pilar Demokrasi Indonesia
1. Tidak Ada Pergeseran Kekuasaan
Pada pelaksanaan Demokrasi Pancasila di era Orde Baru, Presiden dapat terus menjabat, sementara wakil Presiden dapat diganti.
Dalam jurnal ilmiah Demokrasi dalam Sejarah Ketatanegaraan RI (2014) karya Arif Wijaya disebutkan bahwa kondisi ini disebut tidak adanya rotasi kekuasaan eksekutif.
2. Terjadinya Praktik KKN
KKN adalah singkatan dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Apakah KKN ini tindakan yang merugikan? Ya, kita cari tahu alasannya.
Menurut KBBI, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Kolusi adalah kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji. Contoh terjadinya kolusi misalnya melakukan penyuapan (memberi uang sogok) untuk kebutuhan pribadi.
Nepotisme adalah kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah.
3. Pelanggaran HAM
Pada masa Orde Baru, kebebasan pers atau penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, dan radio dibatasi.
Berbagai surat kabar dan majalah yang menyinggung bisnis dan kasus pelanggaran hukum diberedel atau dicabut peredarannya.
Baca Juga: Penjelasan Fungsi Pancasila di Indonesia sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum
Nah, dengan adanya kekurangan tersebut, demokrasi Pancasila yang berlaku pada masa Orde Baru mulai diganti dan diperbaiki pelaksanaannya pada masa Reformasi.
Di era Reformasi pada masa kepemimpinan Presiden BJ Habibie pemilu mulai berlaku dengan demokratis.
Jika sebelumnya rotasi terjadi banyak praktik nepotisme, pelaksanaan Demokrasi Pancasila era reformasi membuka kesempatan semua orang untuk menggunakan hak politiknya.
Pada tahun 2004, rakyat memiliki kebebasan dan hak untuk memilih presiden, wakil presiden, dan wakil legislatif.
Setahun berikutnya, tahun 2005, rakyat juga mempunyai hak untuk memilih kepala daerah dengan berlandaskan prinsip pemilu.
Nah, itulah penjelasan tentang kekurangan-kekurangan pelaksanaan Demokrasi Pancasila di era Orde Baru.
----
Kuis! |
Apa yang dimaksud nepotisme? |
Petunjuk: cek di halaman 2! |
Lihat juga video ini, yuk!
----
Ingin tahu lebih banyak tentang sains, dongeng fantasi, cerita misteri, dan dunia satwa? Teman-teman bisa berlangganan Majalah Bobo dan Mombi SD.
Khusus di bulan Oktober 2022, ada diskon 10% untuk berlangganan semua majalah dari Media Anak Grid Network - Kompas Gramedia.
Untuk langganan:
Majalah Bobo: https://bit.ly/PROMOBOBOOKTOBER
Majalah Bobo Junior: https://bit.ly/PROMOBOJUNOKTOBER
Majalah Mombi SD: https://bit.ly/PROMOMOMBISDOKTOBER
Majalah Mombi TK: https://bit.ly/PROMOMOMBIOKTOBER
MILKU Milk Farm Hadir di KidZania Jakarta, Ajak Anak-Anak Menjadi Peternak Sapi
Penulis | : | Grace Eirin |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR