Ups, siapa yang datang? Oh, Dewa Matahari mendatangiku! Apa yang harus kulakukan? Aku harus bersembunyi!
Aku buru-buru mengambil sapuku. Tapi, belum sempat aku berlari, Dewa Matahari sudah memegang tanganku!
"Gadis Penyapu Awan! Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu tidak melakukan tugasmu?" tanya Dewa Matahari dengan marah.
"S...ss...saya....," jawabku dengan gugup. Oh, apa yang harus kukatakan?
Tiba-tiba Dewa Matahari melihat Aresta dan Felicia yang basah kuyup.
"Siapa mereka?" tanya Dewa Matahari. Haruskah aku berterus terang? Aku pun terisak. "Aresta dan Felicia. Mereka menyebutku si jelek."
Dewa Matahari tersenyum. Ugh, bagaimana mungkin dia bisa tersenyum, padahal hatiku begitu sakit.
"Ayo, ikut aku!" ajak Dewa Matahari. Aku menurut dan mengikutinya.
"Gadis Penyapu Awan, lihatlah di sebelah sana!"
Aku memandang ke arah yang ditunjuk Dewa Matahari. Seorang laki-laki bersama istrinya sedang memandang hujan dari jendela rumah mereka.
"Kenapa hujan turun di musim kemarau? Tanaman kita, kan, jadi rusak," keluh sang lelaki.
Baca Juga: Dongeng Anak: Bentihe di Hutan Lehi Kuihi #MendongenguntukCerdas
Penulis | : | Iveta Rahmalia |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR