Lisa adalah gadis kecil yang pandai melukis. la melukis peri-peri, putri, ksatria, dan kurcaci dengan indah. Lisa sangat sayang pada lukisan-lukisannya. Ia selalu mengajak mereka berbicara saat membersihkan mereka. Di saat Lisa tidur, semua lukisannya itu menjadi hidup. Semua peri, putri, ksatria, dan kurcaci, membalas keramahan Lisa. Mereka memberi Lisa mimpi-mimpi indah dan menyanyikan lagu-lagu indah agar Lisa tidur nyenyak. Setiap pagi, Lisa selalu bangun dengan perasaan segar dan bahagia.
Pada suatu malam, seperti biasa, para peri, putri, ksatria,dan kurcaci keluar dari pigura lukisan. Mereka sangat terkejut ketika tahu Lisa sedang demam tinggi. Mereka tidak bisa memberinya mimpi indah karena Lisa sedang menggigil. Mereka ingin menolong, tetapi tidak ada dokter di antara mereka. Lisa tidak pernah melukiskan dokter.
“Kita harus keluar dari kamar ini untuk mencari dokter!” usul seorang putri bernama Putri Puan. Ksatria Duan setuju.
Namun Kurcaci Rolf berkata, “Kita ini hanya lukisan kecil. Hanya secarik kertas kanvas tipis yang digambari. Kita tidak tahu ada apa di balik pintu itu,” kata Kurcaci Rolf.
Halangan pertama buat mereka adalah pintu kamar yang tinggi. Terpaksa mereka berdiri tumpuk menumpuk. Ksatria Duan duduk tegak di atas Kuda Pion. Putri Puan berdiri di bahunya. Kurcaci Rolf di atas bahu Putri Puan. Peri Tily berdiri paling atas. Ia berusaha terbang, IaIu meraih gagang pintu. Akhirnya, pintu itu terbuka juga. Ksatria Duan dan Kurcaci Rolf segera berangkat menunggang Kuda Pion. Mereka mencari bantuan untuk Lisa. Koridor yang mereka lewati begitu panjang, besar dan sepi. Namun mereka berhasil juga tiba di ujung koridor itu.
Kuda Pion berderap membawa mereka ke sebuah padang rumput berwarna biru.
Kaki Kuda Pion tiba-tiba terbelit rumput itu. Kurcaci Rolf dan Ksatria Duan terlempar dari punggung Kuda Pion. Padang rumput itu sebetulnya permadani tebal di ruang keluarga. Dengan susah payah mereka berjalan kaki melintasi permadani tebal itu. Mereka terkejut melihat tikus yang lari melintas dikejar kucing. Namun, kembali mereka melangkah sampai di tepi permadani. Tiba-tiba, ada suara dari atas menyapa mereka. “Haii, aku tidak pernah melihat kalian. Kalian cari apa?”
Ksatria Duan dan Kurcaci Rolf menengok ke atas. Sinar lampu membuat mata mereka perih. “Kami lukisan dari kamar Lisa. Kami mencari bantuan karena Lisa sedang sakit!” jawab Ksatria Duan.
“Oh! Lisa sakit?” Suara itu semakin dekat. Ternyata itu suara peri yang bersinar sangat terang.
“Aku peri lampu, namaku Lit. Kalau Lisa sakit, kalian harus mencari Ibu!” Lit lalu menjelaskan jalan untuk bertemu Ibu. Ksatria Duan dan Kurcaci Rolf melanjutkan perjalanan sesuai petunjuk Lit. Setelah melewati koridor lagi, mereka tiba di depan kamar Ibu yang terkunci.
“Halo! Kalian mau masuk?” sebuah suara muncul dari atas. “Lit?” Ksatria Duan memanggil.
“Aku bukan Lit. Aku Brit, peri lampu juga. Lit sudah mengirim kabar tentang kalian,” kata suara itu. “Aku bisa terbang dan membukakan pintu. Tapi, masalahnya... pintu itu terkunci. Kuncinya ada di dalam kamar. Kalian harus bisa mengambilkan kuncinya,” lanjut Brit.
Kurcaci Rolf mendapat ide. Ia memberitahu Ksatria Duan.
“Tidak! Kamu tidak bisa hidup lagi kalau melakukan itu!” Ksatria Duan tidak setuju.
“Kalau aku tidak melakukannya, Lisa bisa meninggal!” kata Kurcaci Rolf.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia langsung menjepit hidungnya dan menahan napasnya. Perlahan-lahan warnanya memudar dan tubuhnya menipis. Ia kini menjadi sehelai kanvas dengan gambar Kurcaci Rolf hitam putih. Dengan sedih, Ksatria Duan menyelipkan temannya ke bawah pintu.
Brit, si peri lampu, segera terbang ke gagang pintu dan mengutak-atik lubang kunci. Pluk! Terdengar suara benda terjatuh di atas kanvas. Ksatria Duan menarik kembali kanvas Kurcaci Rolf dan mengambil kunci emas di atasnya. Ia menyodorkannya pada Brit yang dengan segera memutar kunci.
Pintu terbuka. Ksatria Duan melangkah masuk ke dalam kamar. Tampak Ibu tidur nyenyak di tempat tidur besar. Ksatria Duan memusatkan pikiran untuk masuk ke dalam mimpi Ibu. Berulang kali dia menyampaikan pesan bahwa Lisa sakit. Akhirnya Ibu terbangun juga. Ia tampak heran melihat pintu kamar sudah terbuka, dan kuncinya ada di sebelah luar. Ia lalu bergegas menuju kamar Lisa.
Ksatria Duan bersorak senang. Akan tetapi, ia tampak sedih saat mengangkat kanvas Kurcaci Rolf. Setelah pamitan pada Brit, ia membawa kanvas Kurcaci Rolf pulang.
Hari hampir pagi saat ia tiba di kamar Lisa. Pintunya tidak tertutup. Di dalam, ada Ibu, Dokter, dan Suster yang sibuk merawat Lisa. Berjingkat-jingkat, Ksatria Duan mengembalikan kanvas Kurcaci Rolf ke lukisannya. Ia sedih melihat gambar Kurcaci Rolf yang tetap hitam putih walau lukisan latar belakangnya berwarna-warni. Setelah itu, Ksatria Duan kembali ke lukisannya sendiri.
Lisa sakit selama beberapa hari. Setelah lima hari, Lisa akhirnya bisa duduk di tempat tidurnya. Malam itu Ibu bercerita tentang mimpinya.
“Ksatria yang membawa kabar kalau kamu sakit itu, persis seperti yang ada di lukisanmu, Lisa,” kata Ibu.
Begitu Ibu pergi, Lisa bangun dari tempat tidurnya. Lisa menghampiri lukisan-lukisannya dan mengucapkan terima kasih. “Terima kasih, Putri Puan, Peri Tily, kalian tidak henti-hentinya menyanyikan aku lagu merdu.”
Tangan Lisa membersihkan lukisan Putri Puan dan Peri Tily. “Terima kasih Ksatria Duan dan Kuda Pion. Kalian menempuh perjalanan jauh untuk membangunkan Ibu.” Tangan Lisa juga membersihkan lukisan Ksatria Duan. Terakhir, Lisa pergi ke lukisan Kurcaci Rolf.
“Terima kasih, Kurcaci Rolf. Kamu sangat hebat dan gagah berani.” Lisa mencium gambar Kurcaci Rolf yang hitam putih dengan lembut. Lalu, perlahan-lahan warna-warna kembali muncul di gambar Kurcaci Rolf. Malamnya ketika Lisa sudah tidur, Kurcaci Rolf bisa hidup lagi! Para peri, putri dan ksatria menyambut Kurcaci Rolf yang gagah berani dengan gembira.
(Cerita: Pradikha Bestari / Dok. Majalah Bobo)
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | YANTI |
KOMENTAR