Di tepi Hutan Tritisan, pokok-pokok raksasa menjulang. Rimbun dedaunan membuat suasana di sekitarnya teduh dan nyaman. Tak jauh dari pinggir hutan terdapat sebuah pondok kayu. Pekarangannya hijau ditanami sayur dan buah-buahan. Ada kolam ikan serta kandang bebek dan ayam di sudut halaman. Pohon-pohon kelapa menaungi kebun dengan bayangannya yang rindang.
Di sanalah Larasati dan Paras Ayu tinggal. Kakak beradik itu sejak kanak-kanak yatim piatu. Sudah lama orang tua mereka meninggal dunia. Larasati yang lima tahun lebih tua dari Paras Ayu merawat dan membesarkan adiknya seperti anaknya sendiri. Kakak beradik itu saling mengasihi.
Suatu hari di sore yang cerah, matahari membiaskan warna jingganya yang indah. Penduduk desa menyebutnya sandyakala. Larasati dan Paras Ayu duduk di ambin depan rumah mereka. Keduanya baru saja selesai mandi di sungai. Rambut mereka tampak basah.
Larasati menyisiri rambut adiknya yang panjang terurai. Walau masih berusia sebelas tahun, kecantikan Paras Ayu tampak bersinar. Larasati membalurkan ramuan kemiri pada rambut adiknya yang wangi. Dia berbisik, “Kelak kau akan menikah dengan pemuda tampan dan baik hati.”
“Di mana akan kutemui pemuda seperti itu, sementara tempat tinggal kita jauh dari keramaian. Di dekat sini tak ada seorang pemuda pun tinggal. Apalagi yang tampan dan baik hati,” tukas Paras Ayu.
“Aku yang akan mencarikannya untukmu,” janji Larasati.
Tapi setahun kemudian terjadi musibah. Larasati terseret arus sungai yang pasang saat mencuci pakaian. Tubuhnya ditemukan penduduk desa beberapa hari kemudian. Paras Ayu sangat bersedih atas kematian Larasati. Berhari-hari Paras Ayu menangis di tepi sungai meratapi kepergian kakaknya. Kini dia hidup sebatang kara.
Tapi tiba-tiba… cring! cring! cring! Terdengar suara bergemerincing. Paras Ayu tertegun melihat rusa berhias gelang kaki yang turun minum di tepi sungai. Rusa itu menggerak-gerakkan kakinya sehingga terdengar suara gemerincing gelangnya. Paras Ayu tertawa, suara gemerincing gelang itu sangat menghibur hatinya.
Ketika malam datang dan suasana amat senyap, gemerincing gelang kaki itu terdengar lagi. Paras Ayu mengintip dari balik jendela. Aha…rupanya rusa itu menari-nari di tepi hutan. Demikianlah setiap malam, suara gemerincing gelang kaki sang rusa menemani Paras Ayu bermimpi. Sehingga Paras Ayu tak merasa kesepian lagi.
Waktu berlalu, Paras Ayu kini telah tumbuh menjadi gadis remaja. Kacantikannya semakin mempesona.
Pada suatu hari Raden Kusuma, putra mahkota kerajaan, berburu di hutan. Raden Kusuma beserta pasukannya memasang jebakan macan. Mendadak terdengar suara gemerincing dari arah utara. Raden Kusuma penasaran mendengarnya. Diikutinya arah suara itu hingga menuju ke sungai. Girang hati Raden Kusuma melihat seekor rusa betina yang cantik dengan gelang di kakinya. Raden Kusuma memburu rusa itu. Saking asyiknya, dia terlepas dari rombongan pasukannya. Rusa itu berlari menyusuri tepian sungai, sementara Raden Kusuma mengejarnya sambil membidik anak panah.
Cring! Cring! Cring! Terdengar suara gemerincing. Paras Ayu yang sedang mencuci di sungai langsung mencari arah suara itu. Wah…rusa itu datang lagi! Pikir Paras Ayu sambil mengeluarkan seikat dedaunan dari dalam keranjang. Seperti biasa, Paras Ayu membawakannya makanan.
Cring…cring…cring…seeettt!!! Rusa itu bersembunyi di balik semak-semak. Paras Ayu tercekat. Aneh, kenapa rusa itu bersembunyi? Tiba-tiba… srek… srek… srek… terdengar detap langkah orang mengendap-endap. Tampak seorang pemuda siap melepaskan anak panahnya.
“Tidaaaak!!!” Paras Ayu berteriak. Dia berlari menyeberang sungai. Tapi terlambat, anak panah telah melesat dari busurnya dan melukai tubuh rusa itu.
“Jangan sakiti rusa itu!” pekik Paras Ayu. Dia berlari menghambur memeluk sang rusa, satu-satunya makhluk yang selama ini menemaninya.
Sementara Raden Kusuma terkejut menyaksikan kejadian itu. Di hampirinya Paras Ayu dan rusa itu. Paras Ayu segera merobek kainnya dan membalut luka sang rusa.
Raden Kusuma merasa sangat bersalah. Paras Ayu tak mempedulikan permohonan maafnya. Berhari-hari dia menunggui rusa itu dan merawatnya dengan ramuan akar tumbuhan berkhasiat. Raden Kusuma tak tega meninggalkan gadis yang bersedih itu seorang diri. Dia menemani Paras Ayu merawat rusa itu. Dia juga mencarikan mereka makanan. Tapi Paras Ayu belum bisa memaafkannya. Dia sama sekali tak mau mengajak Raden Kusuma bicara. Raden Kusuma merasa sangat berdosa. Dia bersemadi memohon petunjuk Dewata. Tiba-tiba suatu kejaiban terjadi. Rusa itu berbicara dalam bahasa manusia.
“Untuk menebus dosamu, kau harus merelakan nyawamu!”
Alangkah terkejutnya Raden Kusuma. Betapa mahal hukuman yang harus ditanggungnya. Tapi dengan pasrah dia berkata,
“Baiklah. Akan kujalani hukuman apa pun yang harus kuterima, asalkan rusa itu sembuh dan gadis ini berhenti berduka!”
Glegaarrr!!! Halilintar menyambar. Rusa itu menjelma menyerupai bayangan Larasati.
“Adikku, kau tak akan lagi sendirian. Kini aku dapat beristirahat dengan tenang karena telah memenuhi janjiku!”
Dalam sekejap bayangan itu menghilang seiring suara gemerincing gelang kaki yang menyelinap di balik pokok-pokok pepohonan.
Akhirnya Raden Kusuma membawa Paras Ayu ke istana. Dia telah jatuh cinta pada gadis itu sejak pertama kali melihatnya. Paras Ayu pun telah memaafkannya. Mereka menikah dan hidup berbahagia. Bahkan kini Raden Kusuma mengeluarkan peraturan larangan berburu di Hutan Tritisan.
Tak seorang pun berani melanggar. Sebab… dengarlah! Suara gelang kaki itu sesekali bergemerincing di antara desau angin dan dedaunan. Peringatan bagi para pemburu!
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Dwi Pujiastuti.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR