Ia pernah mengagetkan Bu Kucing dengan ular karet, sampai Bu Kucing lari dan tercebur di sungai. Ia juga pernah mencabut bulu Bu Ayam. Bu Ayam kaget sampai tak sengaja menginjak telur-telurnya sendiri.
Sigung juga pernah membuat Pak Kelinci sial. Pak Kelinci menjadi jengkel dan ingin memberi pelajaran pada Sigung.
Pada suatu hari, Pak Kelinci menghampiri Sigung. “Sigung, ayo, ikut aku ke gunung. Bantu aku mengumpulkan permata yang kutemukan di sana,” ajak Pak Kelinci.
Sigung sangat gembira diajak mengumpulkan permata. Aku bisa menyembunyikan beberapa permata di kantongku, pikir Sigung. Maka, Sigung segera mengambil keranjang besar yang tergeletak di dekat situ.
“Aaa… lengkeeet…!” teriak Sigung tiba-tiba.
Ternyata, Pak Kelinci sudah menduga, Sigung akan mengambil keranjang itu. Pak Kelinci telah mengolesi keranjang itu dengan aspal lengket. Kini, tangan Sigung menempel di sana.
“Coba pakai minyak ini, supaya tanganmu licin dan bisa lepas dari keranjang…” kata Pak Kelinci sambil mengulurkan sebuah botol kecil.
Sigung buru-buru mengambil botol minyak itu dan menuang semua isinya ke tangannya. Seketika tercium bau busuk. Ternyata, Pak Kelinci memberi minyak bau buatan Sigung sendiri yang dipakai Sigung untuk mengerjai Pak Kelinci seminggu lalu.
Sigung tidak tahan pada bau minyak buatannya sendiri. Buru-buru ia lari ke sungai untuk mencuci tangannya.
Tak lama kemudian, Sigung tampak sudah duduk kelelahan di tepi sungai. Tangannya masih bau. Aspal juga masih belepotan menempel di tangannya walau keranjang tadi telah lepas. Tiba-tiba, mata Sigung melihat sesuatu yang berkilau tersembul dari balik tanaman di tepi sungai. Sigung segera mendekat.
Ternyata, di balik tanaman itu, tampak ada dua kano. Yang satu adalah kano tua terbuat dari kayu. Satunya lagi mengilap dengan hiasan batu-batu permata.
“Pasti ini kano Pak Kelinci! Tadi dia usil padaku. Sekarang, akan aku curi kanonya!” pikir Sigung. Ia langsung melompat ke dalam kano indah itu.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR