“Kebetulan aku tahu,” Jingga tersipu malu. “Kamu ke mana nanti?” Puan mendekat.
“Mungkin ke Kebun Raya bersama Papa,” sahut Jingga, “bisa juga aku ke pantai bersama Mama.”
“Kenapa begitu?” tanya Arbi yang bertubuh gemuk, tanpa bangkit dari sebuah batu besar yang didudukinya.
“Apa?” Jingga berteriak. “Kamu turun saja. Ayo, main ke rumahku!” undang Puan.
“Ayo, turun lewat tangga!” Arhan keluar dari kotak permainan. Ia menggeser sebuah tangga yang bersandar di pagar ke bawah balai.
“Aku tak berani,” desah Jingga. “Coba, dong! Aku pegangi tangga ini,” kata Arhan.
“Aku akan menangkapmu kalau jatuh,” Arbi ikut mendekat.
“Bukannya waktu jatuh! Waktu dia turun, kamu harus pegangi!” protes Septi.
“Aku coba,” kata Jingga. Lalu melompat ke atas pagar tembok yang hampir berhimpitan dengan dinding balai. Dengan hati-hati ia menuruni tangga yang dipegang erat oleh empat anak di bawah. Akhirnya kaki Jingga menjejak tanah.
“Nah, kamu bisa!” anak-anak bersorak.“Aku belum pernah naik turun tangga,” kata Jingga senang.
“Kami, sih, sering,” kata Puan.
“Waktu rumahmu dulu masih kosong, kami sering naik ke balai itu lewat tangga ini. Setelah keluargamu tinggal di situ, tak pernah lagi kami lakukan. Tak boleh bermain ke rumah orang sebelum kenal.”
Terbit Hari Ini, Mengenal Dongeng Seru dari Nusantara di Majalah Bobo Edisi 35, yuk!
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | YANTI |
KOMENTAR