Jingga naik ke balai kecil yang terletak di sudut taman. Hampir setiap sore ia menunggu Mama pulang kantor di sana. Di samping rumahnya, empat anak bermain engklek. Jingga tahu dua di antara mereka adalah tetangganya. Bahkan ia tahu nama mereka, Arhan dan Puan. Jingga menonton permainan anak-anak itu dari atas. Letak rumah Jingga memang agak tinggi. Diam-diam ia mendengarkan percakapan mereka.
“Tahun Baru nanti kita ke mana, nih?” Puan bertanya sembari mengawasi Arhan yang malompat lompat di dalam tanda kotak-kotak di tanah.
“Kintamani,” anak perempuan berbaju bunga bunga menjawab. Dari yang Jingga dengar, anak itu bernama Septi.
“Bosan!” Arhan berkomentar tepat ketika kedua kakinya mendarat di tengah-tengah kotak.
“Bedugul?”
“Iih, tahun lalu mobil Papa ditabrak bis di sana! Syukur kami semua selamat,” Puan bergidik.
“Kalau acara tivi bagus, aku mau nonton saja seharian,” kata anak laki-laki bertubuh gemuk.
Septi mencela, “Huh, kamu pemalas!”
“Bukan begitu. Tamasya jauh-jauh belum tentu orang tua kita punya uang. Tidak seperti tahun lalu, sekarang kita harus irit!”
“Kita pergi ke pantai saja, yuk! Kan, dekat dan tak perlu banyak uang,” usul Septi.
“Tahun Baru hari apa, sih?” Arhan bertanya. Tak ada yang menjawab. Keempat anak berpikir.
“Jumat!” Jingga berseru dari atas balai. Serempak anak-anak di bawah mendongak ke arahnya.
“Kebetulan aku tahu,” Jingga tersipu malu. “Kamu ke mana nanti?” Puan mendekat.
“Mungkin ke Kebun Raya bersama Papa,” sahut Jingga, “bisa juga aku ke pantai bersama Mama.”
“Kenapa begitu?” tanya Arbi yang bertubuh gemuk, tanpa bangkit dari sebuah batu besar yang didudukinya.
“Apa?” Jingga berteriak. “Kamu turun saja. Ayo, main ke rumahku!” undang Puan.
“Ayo, turun lewat tangga!” Arhan keluar dari kotak permainan. Ia menggeser sebuah tangga yang bersandar di pagar ke bawah balai.
“Aku tak berani,” desah Jingga. “Coba, dong! Aku pegangi tangga ini,” kata Arhan.
“Aku akan menangkapmu kalau jatuh,” Arbi ikut mendekat.
“Bukannya waktu jatuh! Waktu dia turun, kamu harus pegangi!” protes Septi.
“Aku coba,” kata Jingga. Lalu melompat ke atas pagar tembok yang hampir berhimpitan dengan dinding balai. Dengan hati-hati ia menuruni tangga yang dipegang erat oleh empat anak di bawah. Akhirnya kaki Jingga menjejak tanah.
“Nah, kamu bisa!” anak-anak bersorak.“Aku belum pernah naik turun tangga,” kata Jingga senang.
“Kami, sih, sering,” kata Puan.
“Waktu rumahmu dulu masih kosong, kami sering naik ke balai itu lewat tangga ini. Setelah keluargamu tinggal di situ, tak pernah lagi kami lakukan. Tak boleh bermain ke rumah orang sebelum kenal.”
“Aku tahu namamu dan kakakmu,” kata Jingga.
“Kami juga tahu namamu,” sela Septi.
“Jingga, kan?” Jingga mengangguk. Ia pun menyebut nama Puan, Arhan, dan dua anak yang baru didengarnya tadi.
“Kamu bisa main engklek nggak? Ayo, main!” ajak Septi.
“Eh, kamu tak punya pasangan.”
“Aku berhenti saja,” kata Arbi mengalah.
“Jingga bisa berpasangan dengan Arhan.”
Ketika anak-anak itu melangkah ke tempat permainan, terdengar panggilan dari atas balai. Mereka mendongak ke atas.
“Papa!” jerit Jingga. Ia berlari kembali ke tempat tangga. Kepada teman-temannya ia berucap, “Papa datang, aku pulang, ya! Besok saja aku ikut main.”
Anak-anak itu mengangguk. Beramai-ramai mereka memegangi tangga. Jingga mulai naik.
“Hati-hati!” Papa mengingatkan.
“Katamu tadi, kamu bisa ke Kebun Raya atau pantai Tahun Baru nanti. Ke pantai saja, yuk, bersama kami!” ajak Puan
“Tergantung aku ikut Mama atau Papa nanti,” jawab Jingga.
“Kenapa begitu?”
“Aku dan Mama tidak tinggal bersama Papa lagi. Papa di rumah yang lain. Kalau liburan, mereka berebutan mengajakku.”
Papa tertawa mendengarkan penjelasan Jingga.
“Oom bercerai dengan Mama Jingga, ya?” tanya Arbi.
“Oh, tidak,” jawab papa Jingga ramah.
“Kami hanya berpisah sementara agar tak terus bertengkar.”
“Orang tua kami sering bertengkar, tapi enggak berpisah. Iya kan, Septi?” Arbi berpaling ke arah adiknya.
“Kadang-kadang saja, kok!” Septi meralat.
“Orang tua kami juga pernah bertengkar,” timpal Arhan. “Aku juga sering bertengkar dengan Puan. Tapi dia tetap adikku tersayang. Aku tak mau berpisah dengannya.”
Papa mengangkat Jingga dari atas pagar, lalu berkata kepada anak-anak di bawah, “Terima kasih, anak-anak. Oom pastikan Jingga bisa bertahun baru di pantai bersama kalian.”
“Horeee...” Jingga dan teman-temannya bersorak.
Papa menuntun Jingga meninggalkan balai. Ternyata Mama telah berdiri di depan rumah dengan mata basah. Papa menyongsong dan menghapus air matanya. Untuk pertama kalinya, Jingga melihat lagi Papa dan Mama berhadapan sedekat itu. Hati gadis kecil itu pun berbunga.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D.
Terbit Hari Ini, Mengenal Dongeng Seru dari Nusantara di Majalah Bobo Edisi 35, yuk!
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | YANTI |
KOMENTAR