Sudah dua hari Mia murung. Hal itu tidak luput dari perhatian Ibu. Mia yang biasanya ceria kini menjadi pendiam. Sekali-sekali Ibu memergokinya sedang mengamati selembar kertas hasil test IQ yang baru dibagikan dari sekolah.
Hasil test IQ Mia memang tidak bagus. Hanya 103. Lain dengan Kak Iwan dan Kak Susi. IQ mereka 130 dan 126. Memang Ibu sudah menghiburya, "Walaupun IQ rendah, kan, yang penting kamu sudah berusaha sebaik-baiknya dan angka rapormu tak ada yang merah!"
Mia mengakui, memang angka rapornya tidak ada yang merah. Tapi, kan, enam melulu. Tidak seperti kedua kakaknya, yang dengan angka 7 dan 8 banyak menghiasi rapor mereka.
Bahkan Mia sudah berpikir sangat jauh ke depan. Mungkin ia tidak akan bisa menjadi sarjana, sementara kedua kakaknya akan menjadi sarjana dan mendapat pekerjaan yang baik.
Mungkin ia tak mampu mencari uang bila sudah dewasa. Ataupun hanya mampu menjadi pembantu rumah tangga. Memang Mia menyukai pekerjaan rumah tangga, seperti membantu Ibu memasak, menyapu, mengepel, atau beres-beres rumah.
Bahkan mungkin saja nanti Mia hanya menjadi beban kedua kakaknya. Perasaan itu menghantui Mia, merampas keceriannya. Bagi Mia, nasihat Ibu hanya angin lalu, sekedar menyenangkan hati Mia, tapi menutupi kenyataan pahit yang harus dihadapinya.
Pada hari ketiga Mia masih lesu. Ketika pulang sekolah, Ibu memberitahu, "Mia, Ibu masak makanan kesukaanmu. Ayam rendang dan daun singkong rebus!"
"Terima kasih, Bu!" hanya itu sambutan Mia. Biasanya Mia akan berseru, "Hore, asyiiik, bisa-bisa aku makan dua piring!"
"Mia, sehabis makan nanti kita pergi ke rumah Tante Ning, yuk. Tante Ning mengundang Ibu mencoba puding tahu. Kamu mau ikut Ibu, kan?" tanya Ibu lagi.
Sambil makan, dengan segan Mia menjawab, "Terserahlah, pergi boleh, tidak pergi juga tak apa-apa!"
Ibu terdiam sejenak. Ini bukanlah Mia yang dikenalnya. Kalau dalam situasi biasa, pasti Mia akan berseru "Puding tahu? Seperti apa, ya. Apakah betul-betul menggunakan tahu? Kalau enak, kita minta resepnya dan coba di rumah, ya Bu."
Sehabis makan Ibu dan Mia naik bajaj ke rumah Tante Ning. Rumah Tante Ning bagus. Ruang tamunya besar. Di dinding tergantung ijazah-ijazah kursus kue dari dalam dan luar negeri. Juga ada foto kue tar besar hasil karya Tante Ning berbentuk menara Eiffel.
Di meja bertumpuk buku-buku mengenai kue dan album berisi foto bermacam-macam kue dan roti. Diam-diam Mia mengagumi keberhasilan Tante Ning.
Ibu dan Mia segera disuguhi puding tahu, yang ternyata terbuat dari agar-agar, hanya diberi susu sehingga bentuknya mirip tahu. Juga dihiasi dengan buah kaleng yang berwarna-wami.
"Mia masih suka bantu Ibu memasak dan membuat kue?" tanya Tante Ning.
"Ya, Tante!" jawab Mia. "Habis Mia tidak seperti Kak Iwan dan Kak Susi. IQ Mia IQ jongkok, cuma 103. Kalau pintar seperti Kak Susi, mungkin Mia tidak senang memasak!"
Tante Ning maklum. Sebelumnya Ibu memang sudah meneleponnya.
"Ah, ibumu pandai, tapi kan senang memasak dan membuat kue. Kalau Tante Ning, IQ-nya memang cuma 101. Tapi Tante Ning tidak kecewa. Tuhan memberikan kelebihan-kelebihan yang berbeda pada setiap orang," kata Tante Ning.
Minat Mia bangkit. Setahu Mia, Tante Ning adalah orang hebat. Ia pengusaha kue yang cukup terkenal. la sering mendapat pesanan membuat kue ulang tahun, kue pengantin ataupun roti. Bahkan ia sering ikut dalam pameran-pameran kue. Dan ia sudah pergi ke beberapa negara untuk mengikuti kursus kue atau roti.
"Tante Ning cuma bergurau untuk menghibur Mia!" kata Mia.
"Eh, tidak, ini serius Iho. Malah Tante Ning pernah tidak naik kelas waktu SMP kelas satu. Habis kalau malam menghafal pelajaran, esok paginya kok hampir semuanya lupa lagi. Akhirnya Tante Ning cuma sekolah sampai SMP. Tapi Tante Ning senang membuat kue dan memasak. Jadi Tante Ning ikut kursus dan kemudian mulai terima pesanan kue. Lama-lama jadi maju dan ya, seperti yang sekarang Mia lihat," demikian cerita Tante Ning.
"Ya, orang yang IQ-nya tinggi juga belum tentu berhasil. Buktinya Taufik, kawan sekelas kami. IQ-nya 140. Tapi kemudian ia menggelapkan uang perusahaan dan akhirnya masuk penjara," tambah Ibu.
"Masih lebih baik, si Bea. Walaupun dulu ulangannya dapat bebek melulu, tapi kemauannya keras. Sekarang dia menjadi notaris," kata Tante Ning.
Mia tersenyum dan bertanya, "Angka bebek itu berapa, sih, Bu?"
Tante Ning dan Ibu tertawa. "Angka bebek adalah angka dua, sedangkan telur adalah angka nol!" Tante Ning menjelaskan.
"Jadi kesimpulannya IQ rendah bukan masalah. Yang penting kita berusaha sebaik mungkin dan jadi orang baik. Dan IQ juga bisa berubah, Io, kalau kita banyak menambah pengetahuan dan mau belajar. Anak tetangga sebelah waktu kelas 3 SD di tes IQ-nya 108, waktu kelas 6 dites lagi sudah menjadi 117," sambung Tante Ning.
Hati Mia terhibur. Wajahnya mulai cerah lagi.
"Wah, keasyikan cerita, pudingnya, kok, belum dicoba. Saya undang tamu, kan, supaya puding ini dicoba dan dikritik. Kalau rasanya sudah cocok, baru mau dipasarkan!" kata Tante Ning. "Baiknya ditambah es sedikit lagi, biar lebih enak!"
Kemudian Ibu dan Mia asyik menikmati puding yang lezat.
"Bagaimana?" tanya Tante Ning.
Ibu mengacungkan ibu jari. Dan Mia menjawab, "Enak, Tante, cuma ada sesuatu yang kurang."
"Oooh, kurang apa, Mia? Bilang saja terus terang, nanti akan Tante perbaiki!" tanya Tante Ning.
"Anu, kurang banyak, Tante!" jawab Mia, lalu tertawa. Ibu dan Tante Ning juga tertawa.
"Oh, kalau itu sih gampang. Tambah saja, masih banyak, kok persediaan," kata Tante Ning senang, lalu mengeluarkan persediaan puding lagi dari kulkas.
Ibu tersenyum bahagia dan mengusap matanya. Mia sudah kembali menjadi Mia yang ceria. Satu persoalan yang memberatkan hatinya beberapa hari ini sudah diselesaikan.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.
Penglihatan Mulai Buram? Ini 3 Hal yang Bisa Jadi Penyebab Mata Minus pada Anak-Anak
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR