Suara Ibu Rini yang manis masih terngiang di telinga Mia saat ia berjalan pulang.
"Aktingmu bagus, Mia. Kamu sangat menghayati peranmu. Terus kembangkan bakatmu. Siapa tahu kamu bisa jadi bintang sinetron!"
Sekolah Mia akan mengadakan malam kesenian. Kelas Mia akan menampilkan sandiwara Bawang Merah dan Bawang Putih. Petang tadi Mia dan kawan-kawan berlatih di bawah pimpinan ibu guru, Ibu Rini. Mia menjadi Bawang Merah. Ia sangat senang. Duh, alangkah bangganya bila ia bisa seperti Sherina atau Tasya.
Sementara itu jalan aspal yang dilalui Mia tampak semakin kelabu. Jalan itu sangat sunyi. Pohon-pohon besar berbaris di kiri dan kanan jalan. Namun, tiba-tiba Mia mendengar suara aneh. Klok klok... Di kesunyian senja, bunyi itu terdengar jelas. Bunyi apa itu? Jantung Mia berdebar. Ia ingin menoleh, tapi tak berani. Orangkah? Hewankah? Atau...Mia tak berani menyebut kata hantu.
Mia mempercepat langkahnya. Aneh! Bunyi klok klok di belakangnya itu juga semakin cepat. Penasaran, Mia memperlambat langkahnya, satu demi satu bagaikan sedang meniti batu. Yaaa, ampun! Bunyi klok klok itu pun melambat. Seolah sengaja menyamakan irama langkahnya dengan langkah Mia. Penasaran, Mia berhenti. Dan bunyi klok klok itupun berhenti. Mia semakin takut.
Hari sudah semakin gelap. Sekarang Mia menepi, tidak lagi berjalan di atas aspal. Ia berjalan di atas rumput di bawah pohon. Bunyi klok klok klok tidak kedengaran lagi. Mia merasa lega. "Aaah, mungkin tadi aku salah dengar," Mia menenangkan dirinya.
Namun, baru saja ia melangkah beberapa meter, terciumlah bau bangkai busuk. Astagaaa, rupanya di depan ada bangkai seekor tikus besar. Mia menutup hidungnya dan turun ke jalan aspal lagi.
"Klok, klok, klok..." bunyi itu terdengar lagi mengikuti irama langkahnya.
"Oh Tuhan, lindungilah aku!" Mia berdoa sambil berjalan. la merasa sangat bersyukur ketika melihat sebuah gerobak penjual rokok di bawah pohon.
"Aku akan beli permen di sana, kemudian melihat siapakah yang mengikutiku!" pikir Mia. La mempercepat langkahnya lagi dan bunyi klok klok klok itu juga mengikutinya dengan cepat.
Pak Tua penjual rokok sedang duduk terkantuk-kantuk.
"Pak, Pak, beli permen!" kata Mia sambil menyodorkan uang.
Pak Tua menyodorkan stoples dan Mia mengambil tiga buah permen.
"Pak, coba tolong lihat. Apakah di sana ada orang? Tadi waktu aku berjalan, terdengar bunyi klok klok klok yang aneh!" Mia minta tolong.
Bersama penjual rokok, Mia lalu turun ke jalan aspal, menengok ke arah yang sudah dilalui Mia tadi. Pak Tua menyipitkan matanya agar bisa melihat lebih jelas. Mia sendiri tidak melihat siapa-siapa. Hanya jalan yang sunyi dan warna aspal yang semakin gelap.
"Tidak ada orang, Neng. Memang sepi di sini!" kata Pak Tua.
"Aneh," gumam Mia.
"Jelas sekali aku mendengar langkah klok klok klok yang membuntutiku," ujar Mia lirih.
"Apakah di jalan ini ada setannya?"
"Setan? Ah, si Neng ada-ada saja! Kalau hati kita baik dan bersih, tidak suka jahat, Tuhan pasti lindungi kita!" jawab Pak Tua.
Mia pamit dan berjalan lagi. Lagi-lagi bunyi klok klok klok itu mengikuti. Hari sudah semakin gelap. Rumah-rumah di tepi jalan mulai menyalakan lampu. Tiba-tiba timbul keberanian di hatinya.
“Sekarang aku mau melihat siapa yang membuntutiku!" gumam Mia.
Ia pun menengok. Olala! Pemilik bunyi klok klok klok itu mendekat. Mia mengamatinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pemilik bunyi klok klok klok itu tersenyum. Tapi, Mia menjadi marah.
"Mau apa kamu menakut-nakutiku? Klok klok klok bunyi bakiakmu itu membuatku takut! Kenapa membuntutiku? Kulaporkan polisi, tahu rasa kamu!"
Anak laki-laki itu memakai bakiak dan membawa tas kresek hitam. Ia mundur selangkah dan berkata, "Maafkan aku. Aku takut berjalan sendirian di jalan sepi ini. Kata kawanku banyak hantu di sini. Jadi aku mengikutimu!"
"Bohong! Buktinya kamu pakai bakiak supaya bunyi langkahmu aneh!" bentak Mia sengit.
"Tadi aku main sepak bola. Aku terpeleset masuk ke selokan. Sepatu dan pakaianku kotor. Jadi kawanku meminjami aku bakiak dan baju!" anak laki-laki itu memperlihatkan isi tas plastiknya.
Amarah Mia mulai surut.
"Kalau takut, kenapa tidak jalan saja bersamaku? Kenapa jalan di belakang membuntutiku?" desak Mia lagi.
"Kamu, kan, anak perempuan. Aku anak laki-laki. Lagi pula kita belum kenal. Apa kamu mau berjalan bersamaku? Kalau kamu tolak, bagaimana? Kalau aku terus terang bilang takut, kan tidak lucu. Masak anak perempuan lebih berani daripada anak laki-laki! Tapi, kamu hebat, berani jalan sendirian di jalan sunyi ini!" puji anak laki-laki itu. Mia tertawa, lalu mengulurkan tangannya.
"Namaku Bobi," senyum anak lakilaki itu.
"Ayo, kita jalan lagi!" ajak Mia gembira. Sekarang malah ia punya teman berjalan. "Terus terang, aku tadi takut sekali pada bunyi bakiakmu!" kata Mia sambil berjalan.
"Aku juga. Tadi aku sempat berpikir jangan-jangan kamu ini bukan manusia!" kata Bobi. "Habis, kadang-kadang langkahmu cepat, kadang perlahan, kadang berhenti, lalu cepat lagi!'
"Itu karena aku penasaran. Aku ingin tahu, tapi tak berani menengok ke belakang!" kata Mia. Bobi tertawa dan Mia pun tertawa juga.
Kedua anak itu terus berjalan. Bunyi klok klok klok masih terdengar di jalan sunyi itu, namun kini tidak jadi masalah.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR