Waktu istirahat kedua di sekolah. Udara sangat panas. Anak-anak tampak lesu. Mereka bergerombol di depan kelas. Yang lain berdiri, jongkok, atau duduk di lantai bersandar di tembok kelas.
"Aduuuh.. .Maaaaak.. .aku lapar!" keluh Badu sambil memegang perutnya.
Tubuhnya paling gemuk di kelas. la berdiri dan mimik wajahnya menimbulkan iba. "Mau ke kantin uang saku sudah habis."
"Makanya jangan boros!" kata Lala. "Sudah tahu lagi krismon, eh, uang saku tidak diatur dengan baik!" Badu cepat-cepat menutup kedua telinganya.
"Ampun, deh! Orang sedang kemalangan, malah dimarahi. Mestinya dikasih kue atau roti. Menolong orang lapar besar pahalanya!" kata Badu.
Anak-anak tertawa.
"Huh, kalau harga kebutuhan sehari-hari naik terus,bisa-bisa aku tidak sekolah. Ibuku sudah kena PHK dan perusahaan tempat ayahku bekerja terancam bangkrut!" kata Lilis.
"Tenaang, semua tenaaang. Kata Bang Doel di teve, walaupun keadaan susah, jangan menyerah, kita harus tetap sekolah," kata Rudi.
"Huuuuh!" anak-anak ramai tertawa.
"Tentu saja Rudi bisa ngomong begitu. Dia tak pernah kekurangan makan, ibunya kan buka usaha catering!" kata Lala.
"Sebentar, aku punya ide baru!" kata Erika. Dan semua mulut diam. Namun, Erika malah masuk ke kelas.
"Hei, mau ke mana dial?" seru Yayuk.
"Mungkin mau ambil makanan untukku!" kata Badu penuh harap.
Erika kembali lagi dan memegang selembar kertas buku tulis. Ada tulisan besar dengan spidol hitam: BESOK BAWA UANG RP 200,- DITANGGUNG KENYANG. BAWA SENDOK SENDIRI.
"Kok, makanannya besok, Rika? Aku sudah lapar sekarang!" protes Badu.
Erika tertawa dan menjawab, "Kan, bahannya nanti sore harus dibeli dulu di pasar. Besok pagi-pagi dimasak, baru dibawa ke sekolah!"
"Makan apa kita Erika? Dua ratus atau dua ribu?" tanya Rudi heran.
"Dua ratus. Nolnya, kan, cuma dua!" jawab Erika. Ketika pulang anak-anak masih penasaran. Namun Erika tidak mau menjelaskan apa-apa lagi.
"Lihat saja besok!" katanya singkat.
Esok paginya banyak anak yang datang pagi. Mereka menunggu Erika. Ketika Erika turun dari mobil ia membawa dua tas plastik yang kelihatannya berat. Badu dan Rudi segera berlari menolong membawakan tas itu
"Hm, harum benar. Kolak ubi dan singkong!" kata Badu. "Ini pasti enak!"
Setiap anak kebagian sebungkus kolak dalam kantung plastik. Erika sibuk mengumpulkan uang dari anak-anak. Ada anak yang langsung makan dan ada yang menyimpan untuk istirahat nanti. Ada pula anak yang hanya mampu bayar Rp.100,- Bahkan ada yang tidak bisa bayar. Namun semua tetap kebagian. Ketika istirahat mereka memuji gagasan Erika. Anak-anak yang tak mampu jajan di kantin sangat tertolong.
"Besok kita makan apa, Rika?" tanya Badu.
"Sekarang kan hari Jumat. Nanti Jumat depan baru aku masak lagi. Aku tak sanggup masak tiap hari!" jawab Erika.
"Tenaaang, tenaaaang. Kata Bang Doel kita jangan menyerah, harus tetap sekolah!" celetuk Rudi lagi. Anak-anak kembali terbahak.
"Kamu cuma bilang tenaaang, tenaaang, tapi tak berbuat sesuatu untuk kawan-kawan di kelas!" cela Lala.
"Betuuul! Betuul!" seru anakanak lainnya.
"Begini saja. Besok giliran Rudi yang masak!" kata Badu.
"Jangan cuma bisa omong tenaaang... tenaaang!" Rudi tersipu-sipu, wajahnya memerah.
"Waah, aku didemo. Lya, deh. Besok aku bawa nasi uduk. Tapi hanya pakai bawang goreng sedikit. Rp 200,- dapat sebungkus nasi uduk!" kata Rudi.
"Tidak salah, Rud? Nanti ibumu nombok banyak!" Lina menegaskan.
"Tidak, Ibu baru kebagian beli beras murah!" jawab Rudi.
"Kalau begitu, pakai ayam goreng dan sambel, dong!" usul Badu. Lala menepuk punggung Badu.
"Huu, sekalian saja pakai timun, telur dadar, emping, perkedel..." omel Lala.
"Weee, usul kan boleh!" Badu membela diri.
Erika tertawa. Kawan kawannya memang lucu dan ramai. Erika merasa sedih bercampur senang. Sedih karena tak bisa banyak membantu. Senang karena gagasannya mendapat sambutan baik dan Rudi tergerak ikut membantu.
"Besok aku bawakan kerupuk. Gratis!" seru Erika spontan.
Anak-anak bertepuk tangan.
"Aku mau bawa ketimun dan sambal. Gratiiiiis!" tiba-tiba Fuad si kutu buku ikut bicara. Kembali anak-anak bertepuk tangan.
"Bagus! Bagus! Siapa lagi yang mau menyumbang? Perkedel, puding... semua diterima dengan tangan terbuka," Badu menanggapi. Tak ada yang menjawab, jadi selesai sampai di situ.
Teng teng teng! Bel masuk berbunyi. Badu mengangkat kedua tangannya,
"Tenaaang... tenaaang... Jangan menyerah, besok kita makan nasi uduk. Jangan ada yang absen!" seloroh Badu.
Anak-anak tertawa. Mereka masuk ke kelas dengan gembira dan bersemangat. Mereka bisa mengatasi kesulitan itu bersama. Benar kata Bang Doel, walaupun susah, jangan menyerah, kita tetap harus sekolah.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR