Ini pertama kalinya Ratih ke Jakarta. Ia akan pentas di sebuah acara pertunjukkan seni di Taman Ismail Marzuki (TIM). Setelah tampil di Pesta Kesenian Bali, ternyata Ratih dan teman-teman diundang tampil di Jakarta. Ratih sangat senang walaupun ini pertama kalinya ia akan pergi jauh tanpa Ibu dan Bapak.
Hari ini, Ratih dan teman-teman akan melaksanakan gladi bersih di panggung, tempat pentas besok. Sebelum ke TIM, mereka datang bersembahyang dulu ke Pura Aditya Jaya Rawamangun.
“Tenang sekali ya Bu, di pura ini,” kata Ratih kepada Bu Ratna, pelatih tarinya.
Bu Ratna tersenyum dan mengangguk pada Ratih.
“Bu, Bu Ratna, kita bisa naik kereta, enggak, Bu, ke Taman Ismail Marzuki?’ tanya Sari.
“Bisa, harusnya bisa. Kenapa?” tanya Bu Ratna.
“Kita naik kereta yuk, Bu. Omang ingin merasakan naik kereta,” kata Omang.
“Wah, Ratih juga mau Bu, naik kereta,” tambah Ratih penuh semangat.
Bu Ratna pun mengikuti keinginan tiga anak yang ikut bersamanya. Mereka akhirnya ke Stasiun Manggarai menggunakan metromini yang lewat di depan pura. Di sepanjang perjalanan, anak-anak bertanya ini dan itu kepada Bu Ratna. Mereka tahu kalau Bu Ratna pernah tinggal di Jakarta sebelumnya.
“Nah, kita akan naik kereta ke arah Jakarta Kota, ya, nanti turun di Stasiun Cikini,” kata Bu Ratna kepada anak-anak sambil membagikan kartu kereta.
“Perhatikan langkah kalian, jangan sampai ketinggalan dan tersesat,” kata Bu Ratna lagi.
“Siap Bu …” jawab anak-anak bergantian.
Stasiun sedang ramai saat itu. Mata Bu Ratna terus memerhatikan Sari, Omang, dan Ratih agar tidak hilang di stasiun. Mata Ratih begitu aktif melihat kesana dan kemari. Ini pertama kalinya ia masuk stasiun kereta. Ini pertama kalinya ia melihat kereta sungguhan, bahkan masuk ke dalamnya. Ini seperti mimpi untuk Ratih.
Kereta arah Jakarta Kota pun datang. Bu Ratna dan ketiga penari cilik masuk ke dalam kereta. Mata Ratih sigap menjelajah seisi kereta. Ia mengamati apa yang diakukan orang-orang di dalam kereta, ada yang main HP, membaca buku, mengobrol, dan tidur. Bahkan Bu Ratna pun sudah setengah tidur, mungkin karena lelah.
“Satu stasiun lagi kita turun. Hati-hati melangkah,” kata Bu Ratna sambil mengucek mata.
Anak-anak mengangguk.
Ratih menoleh ke kanan. Ia melihat seorang Kakek tua kesusahan karena membawa boneka yang cukup besar. Ratih tidak melihat ada kursi kosong, tetapi ia tahu kalau Kakek itu pasti lelah. Ia pun mendekati kakek itu dan menolongnya.
“Pak, boleh kasih duduk ke Kakek?” tanya Ratih kepada seorang Bapak. Bapak itupun mengizinkan.
Saat Kakek itu sudah duduk, Ratih baru sadar bahwa pintu kereta baru saja tertutup. Saat menoleh ke kanan, sudah tidak ada Bu Ratna dan teman-teman. Ratih melihat ke arah jendela. Disana Bu Ratna melambai-lambaikan tangan. Kereta pun sudah berjalan perlahan.
“Aduh bagaimana ini?” kata Ratih. Ia bingung harus kemana, tidak ada satpam di gerbong itu. Ratih takut ke gerbong lain. Wajah Ratih ketakutan. (BERSAMBUNG)
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR