Wajah Nenek yang awalnya kebingungan berubah ceria. “Terima kasih, Nak. Terima kasih. Oh ya, siapa namamu?”
“Raya, Nek,” jawab Raya sambil menuntun Nenek ke rumahnya.
Raya dan Nenek melanjutkan sedikit lagi perjalanan menuju rumah Raya. Baru saja mereka masuk rumah, terdengar suara hujan turun.
“Untung saja, ya, Nek, kita sudah sampai,” kata Raya.
“Iya, Nak. Nak Raya tinggal sendiri?” tanya Nenek setelah mendapati rumah sangat sepi.
“Iya Nek, Bapak dan Ibu sudah meninggal karena banjir bandang. Raya dulunya tinggal sama nenek Raya, tetapi Nenek baru meninggal dua bulan lalu,” jawab Raya.
Malam itu, suasana memang sangat mendukung untuk tidur cepat. Nenek pun segera tidur. Namun, Raya masih terjaga. Ia masih memikirkan sayembara memasak di istana besok siang.
Malam itu membawa lamunan Raya sampai ke kenangannya bersama Nenek, seseorang yang selalu memasak enak untuknya. Nenek Raya sangat suka memasak. Apapun yang dimasak pasti rasanya enak. Nenek sabar sekali mengajarkan Raya memasak sejak kecil, mulai dari mencuci, memotong, mengiris, merebus, menggoreng, dan lainnya.
Raya selalu ingat pesan Nenek. “Memasak itu bekal untuk hidup, hidup untuk diri sendiri dan untuk orang lain,” begitulah pesan Nenek yang diingat Raya.
“Ah, coba saja ada Nenek, pasti aku bisa mengajak Nenek ikut sayembara. Aku memang tidak kaya, jadi tak ada yang mau satu kelompok denganku. Tapi, kan, aku bisa memasak. Nenek sudah mengajariku banyak masakan. Ah, tapi kalau tidak punya kelompok, tetap tidak bisa ikut sayembara besok,” kata Raya pada dirinya sendiri. Ia sangat gelisah dan sebentar lagi akan pasrah.
Tanpa sadar. Nenek yang dikira Raya sedang tidur ternyata mendengar kegelisahannya. Nenek tak menjawab. Ia hanya tersenyum dan melanjutkan tidur.
Keesokan paginya, Raya dibangunkan oleh cahaya matahari yang masuk dari sela-sela anyaman dinding rumahnya.
Menuju Dua Dekade, National Geographic Indonesia Gelar Pameran Foto Sudut Pandang Baru Peluang Bumi
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR