Sati membuka koper usangnya dan langsung tersentak. Sebuah kendi terselip di antara pakaiannya. Kendi itu adalah kendi maling.
Kamu tahu, kan, kendi maling itu apa? Itu, lo, kendi khas Lombok. Kendi ini istimewa karena airnya dimasukkan lewat dasar kendi. Kendi biasa, kan, airnya dimasukkan dari atas.
Itu sebabnya, kendi ini dinamai kendi maling. Maling atau pencuri, kan, masuk dari belakang rumah. Hebatnya, air pada kendi maling tidak tumpah saat dibalik. Ada juga legenda yang bilang, kendi maling ini adalah simbol kepercayaan bahwa maling di Lombok tidak akan bisa keluar dari Lombok. Berputar-putar saja di pulau ini.
Tahukah kamu, kenapa Sati ketakutan melihat kendi ini?
Ya, karena Sati memang telah mencuri. Ia mengambil sesuatu yang bukan miliknya.
Saat ini, Sati dan teman-teman sekelasnya sedang berdarmawisata ke Lombok. Untuk bisa pergi berdarmawisata ini, Sati mencuri uang Cika, teman sekelasnya.
Sati tahu, ibunya tidak akan sanggup membayar uang darmawisata. Padahal Sati ingiiin sekali ikut berdarmawisata.
Memang, sebagai anak yang kurang mampu, Sati sudah mendapat keringanan dari sekolah. Tapi, tetap saja jumlah yang harus dibayarkannya terlalu besar buat ia dan ibunya.
Lalu, suatu hari ia menemukan dompet Cika tergeletak begitu saja di ruang kelas yang kosong. Sati tak kuasa menahan diri untuk tidak mengambil lembaran-lembaran uang itu. Tentu saja, kelas heboh saat Cika menyadari dompetnya hilang. Dompet Cika ditemukan kosong di luar sekolah, di dekat gerbang depan. Semua pun beranggapan Cika hanya sedang sial. Dompetnya jatuh dan uangnya di ambil orang luar.
Walaupun deg-degan karena merasa bersalah, semula Sati lega karena tidak ada yang mencurigainya. Tapi sekarang? Kendi maling ini bak menghantuinya. Tadi pagi, saat sarapan, dia menemukan kendi maling itu dikursinya. Begitu juga di kursi yang ia duduki di bus. Di Pantai Kuta, saat ia kembali dari toilet, kendi itu tergeletak di samping ranselnya. Lalu sekarang, kendi itu ada di antara pakaiannya di dalam kopernya yang terkunci rapat!
Aduh, Lombok itu, kan, pulau yang mistis. Bagaimana kalau kendi maling ini memang memiliki kekuatan gaib? Bagaimana kalau kekuatan itu tahu bahwa Sati mencuri uang Cika? Bagaimana kalau ia memang tidak bisa keluar dari Pulau Lombok selamanya? Duh duh… Sati semakin berkeringat dingin membayangkan itu semua.
“Mengaku saja, Sat,” ucap Lina, teman sekamarnya. Tiba-tiba Lina sudah ada di samping Sati.
“A… apa maksudmu, Lin?” tanya Sati terbata-bata.
Lina tersenyum, “Maaf, ya, Sat, aku gak maksud bikin kamu takut,” ucapnya. “Tapi melihat reaksi kamu saat melihat kendi maling ini, aku jadi yakin, kamu yang mengambil uang Cika,” lanjutnya.
“Apa maksudmu, Lin?” ulang Sati. Otaknya serasa lumpuh. Tidak bisa menyusun kalimat lain.
“Pertama, Cika bilang, hari itu ia tidak masuk sekolah lewat gerbang depan, melainkan gerbang belakang. Kok, bisa dompetnya terjatuh di dekat gerbang depan?” ujar Lina. Sati semakin berkeringat.
“Lalu, di dompet Cika ada noda tinta biru. Setahu Cika, noda itu tidak ada sebelumnya. Dan hari itu, adalah hari pena birumu bocor dan mengenai tanganmu. Tinta itu bisa saja tercetak di dompet Cika saat kamu mengambil uang. Tanganmu pasti keringatan karena gugup, kan?” tambah Lina, membuat Sati semakin berkeringat dingin. Saat itu pun, tangannya berkeringat.
“Ditambah lagi, keesokan harinya, kamu melunasi pembayaran darmawisata. Padahal kamu sempat bilang tampaknya tidak bisa ikut karena tidak ada dana. Tapi, wajahmu saat melihat kendi malinglah yang membuatku yakin.” kata Lina menutup penjelasannya.
“Ja… jadi… kamu yang menaruh kendi maling itu di kursiku di ruang makan, di bus, di samping tasku di pantai, di…”
“Iya, itu aku semua. Aku mau memastikan reaksimu. Kamu selalu tampak takut dan bersalah,” sahut Lina tanpa membiarkan Sati menyelesaikan kalimatnya. Sati menunduk semakin dalam.
“Mengaku sajalah, Sat. Cika anak orang kaya, moga-moga dia tidak terlalu marah uangnya hilang. Tapi setidaknya kamu harus minta maaf kepadanya. Cika, kan, baik. Moga-moga dia mau memaafkan,” tangan Lina merangkul bahu Sati yang semakin lesu. Sati pun mengangguk. Lina berjanji akan menemani Sati mengaku. Berdua mereka beranjak ke kamar Cika.
“Klotak!” Perlahan kendi maling di dalam koper Sati bergulir keluar. Lalu menghilang di bawah kolong tempat tidurnya. Lina pasti kaget kalau melihat kendi maling itu di koper Sati. Soalnya, dia tidak memasukkannya ke situ.
Koper Sati, kan, terkunci. Sepintar-pintarnya Lina bisa memecahkan kasus uang hilang, ia tidak akan bisa memasukkan kendi ke dalam koper terkunci, bukan?
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR