Pada zaman dahulu kala, hiduplah sepasang suami istri yang biasa dipanggil Kakek Chester dan Nenek Chester. Mereka tinggal di pondok tua di tepi hutan. Mereka memelihara seekor kambing bernama Ram, dan seekor kucing bernama Mew.
Pada suatu hari, Nenek Chester memindahkan kendi-kendi susu ke gudang penyimpanan di bawah tanah. Dengan demikian, susu-susu itu akan terolah dan menjadi krim. Mew melihatnya. Ia tidak bisa menahan diri dan merangkak mendekati kendi-kendi susu itu dan membuka tutupnya. Saat itu, tanpa sengaja kaki Mew menendang kaleng kosong di dekatnya. KLONTANG!
Kakek dan Nenek Chester mendengar bunyi itu. “Ayo, kita periksa” kata Kakek Chester. “Jangan sampai ada pencuri datang dan masuk ke rumah ini!”
Ketika Kakek dan Nenek Chester sampai di gudang bawah tanah, mereka melihat kendi-kendi susu sudah terbuka tutupnya. Beberapa kendi bahkan terguling di antara jerami. Mew tertangkap sedang menjilat habis susu di dalam kendi-kendi itu.
Nenek Chester sangat marah. Ia mengejar Mew dengan sapu di tangan. “Kucing nakal itu menghabiskan seluruh krim persediaan kita! Kita harus menghukumnya, Kek!” teriak Nenek Chester.
Mew sangat ketakutan dan berlari tunggang langgang, menemui sahabatnya, Ram. “Ram! Cepat! Kita harus lari dari sini!” teriak Mew panik.
“Ada apa, Mew?” balas Ram sambil mengunyah rumput di palungan.
“Nenek dan Kakek Chester akan menghukum kita!” seru Mew berbohong. Ia tidak ingin dihukum sendirian.
Mata Ram terbelalak, menyembur rumput yang sedang dikunyahnya. “A-apa yang terjadi Mew?!” ucap Ram terbata-bata.
“Sudah, ayo, cepat kita pergi dari sini!” seru Mew sambil menarik hidung Ram. Mereka berdua lalu berlari secepat kilat masuk ke dalam hutan. Mereka berharap mendapat tempat baru untuk berlindung.
Di tengah perjalanan di hutan, Ram melihat sesuatu yang besar dan berwarna abu-abu berada di atas tanah. Ternyata, itu kulit seekor serigala.
“Hmm, aneh. Mengapa ada kulit serigala di tengah hutan seperti ini?” gumam Ram.
“Ini pasti mantel milik seorang pemburu,” Mew menyentuh kulit serigala itu.
“Pemburu? Hiii...” Ram bergidik ngeri.
“Kita harus segera pergi, mungkin saja pemburu itu tidak jauh dari sini!” bisik Ram.
“Ya, ya!” kata Mew tidak peduli, “Tapi kita harus membawa kulit serigala ini, siapa tahu kita memerlukannya,” kata Mew. Mew mengambil kulit serigala itu, dan meletakkannya di atas punggung Ram.
Tidak terasa, hari sudah mulai gelap. Mew dan Ram memutuskan untuk mencari tempat bermalam. Di saat itu, mereka melihat secercah cahaya di kejauhan. Karena penasaran, mereka pun berjalan ke arah cahaya itu. Namun ternyata, itu adalah sarang serigala. Mereka melihat ada 12 ekor serigala duduk mengelilingi api unggun.
Mew memberi isyarat untuk berjalan perlahan agar tidak ketahuan. Namun, Ram malah menginjak sebatang ranting kering. KREK! Sekejap, semua mata serigala tertuju kepada Mew dan Ram. Mew hanya bisa menggeleng, dan Ram hanya bisa menggigil ngeri. Tidak ada jalan keluar.
“Halo, saudaraku, serigala-serigala gagah! Apa kabar?” teriak Mew ramah.
“Kami sangat baik, Kucing, dan sangat lapar!” kata seekor serigala yang paling besar. “Apa kau ingin menjadi hidangan makan malam kami?” tanyanya lagi.
Ram kembali menggigil, mulai menggigit kuku-kuku jarinya.
“Oh, tentu tidak sobatku!” kata Mew tenang. “Kami adalah pedagang! Tepatnya, kami berdagang mantel. Aku dan kawan kambing gunungku ini mempunyai mantel dengan kwalitas nomor 1 di negeri ini. Sangat cocok sebagai pelindung dingin di malam hari. Kalian ingin melihatnya?” kata Mew.
“Oh, tentu! Tapi setelah itu, biarkan kami menyantapmu!”
Mew mengambil kulit serigala dari punggung Ram, dan menebarkannya di depan para serigala.
“Inilah mantel kami, saudaraku! Kami ambil dari seekor serigala terkenal dari Gunung Kaca. Kami mengolahnya menjadi mantel yang sangat lembut!” kata Mew.
Dua belas serigala itu mulai khawatir, melihat kulit serigala yang sangat lebar di depan mereka. Pastilah itu berasal dari serigala yang sangat besar.
“Ram, kawanku, coba ambilkan lagi mantel lain yang kita miliki!” kata Mew.
Ram membawa mantel tadi, lalu masuk ke dalam semak-semak. Ia lalu keluar lagi membawa kulit serigala yang sama.
“Ini juga mantel yang telah kami buat, saudaraku! Kami mendapatkannya dari seekor serigala dari Hutan Terlarang. Ini lebih besar dari yang tadi. Dengan mantel ini, kalian tentu akan tetap hangat, walau diterpa badai salju sekalipun!” kata Mew.
Duabelas serigala semakin ketakutan. Sang pemimpin serigala terlihat pucat pasi, lalu berdiri dan berkata kepada Mew, “Saudara-saudaraku, sekarang, bermalamlah dengan kami di sini. Kami akan mengumpulkan kayu-kayu kering untuk menambah kayu api unggun…”
Si pemimpin serigala lalu lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu.
Tinggallah sebelas serigala yang menunggu dengan wajah semakin pucat. Serigala besar saja dijadikan mantel, apalagi kita yang kecil ini? Mereka akan menjadikan kita sup untuk makan malam! Pikir mereka panik.
Seekor serigala bertubuh kecil berdiri dan berkata kepada Mew, “Kawanku, izinkan kami mencari pemimpin kami. Mungkin ia perlu bantuan untuk mengangkat kayu bakar. Api unggun hangat akan membuat tidurmu nyenyak…” Serigala-serigala itu lalu lari tunggang langgang.
Keduabelas serigala tadi berlari ketakutan di tengah hutan. Pada saat itu, lewatlah seekor beruang besar menghadang mereka.
“Mengapa kalian berlari ketakutan?” kata beruang, “Apa yang kalian takutkan?”
“Seekor kucing dan temannya seekor kambing telah membunuh dua ekor serigala besar. Yang satu serigala dari Gunung Kaca. Yang satu lagi dari Hutan Terlarang. Mereka bahkan menjadikan serigala-serigala itu sehelai mantel! Itu sebabnya kami lari dari mereka!” teriak pemimpin serigala panik.
Beruang itu tertawa terbahak. “Kalian percaya pada omongan mereka?! Kalian dibohongi! Ayo, bawa aku ke hadapan mereka!” ujar beruang.
Keduabelas serigala itu lalu menunjukkan jalan ke arah api unggun mereka. Ketika Mew dan Ram melihat ada sesosok beruang besar dari kejauhan, mereka sangat ketakutan. Mew melompat ke atas pohon rindang dan bersembunyi. Sementara Ram, yang tidak bisa memanjat, melompat ke ranting pohon paling rendah. Ia berpegangan erat di dahan itu.
“Pegangan yang erat, Ram! Atau bulumu akan dijadikan mantel si beruang!” bisik Mew.
Beruang besar itu pun datang mendekat, mendekat, dan semakin dekat dengan pohon tempat Mew dan Ram bersembunyi. Sementara itu, pegangan Ram di pohon semakin kendur. Lalu tiba-tiba… KRAK! Ranting pohon Ram patah, dan Ram menindih beruang besar itu. Mata Ram ngeri, menatap Mew dari bawah pohon.
“Habis sudah...” gumam Ram pasrah di dalam hati.
Mew kaget setengah mati, namun segera mendapat ide. la berteriak, “Tangkap beruang itu, Ram! Malam ini kita akan menyantap sup beruang!”
Beruang besar itu kaget. Ia melihat sosok Ram yang tampak besar dengan tanduk yang terlihat kuat. Kulit serigala di punggung Ram memang membuat Ram tampak besar dan mengerikan.
“Astaga, mereka benar-benar menyeramkan!” seru beruang ketakutan. Ia langsung lari tunggang langgang meninggalkan Ram dan Mew. Melihat beruang besar itu berlari ketakutan, serigala-serigala tadi semakin ketakutan. Mereka berlari sangat kencang tanpa menengok ke belakang lagi.
Ram dan Mew sangat lega. Mereka merasa, memang tidak ada lagi tempat yang aman selain dari rumah Kakek dan Nenek Chester. Ya, di sanalah rumah mereka. Ketika hari sudah mulai terang, kembalilah mereka ke rumah mereka.
Dari jauh, tampak Kakek dan Nenek Chester berdiri di depan rumah dengan tatapan sedih. Mereka tidak dapat menemukan Ram dan Mew, dua hewan kesayangan mereka.
Mew dan Ram berlari menghampiri mereka berdua dengan penuh rindu. Betapa senangnya Kakek dan Nenek Chester. Walaupun Mew nakal dan Ram penakut, Kakek dan Nenek Chester tetap menyayangi mereka.
Sejak hari itu, mereka hidup dengan bahagia dan tenang. Mew tidak lagi nakal, karena ia tahu, ia dan Ram tidak memiliki keluarga lain yang menyenangkan seperti Kakek dan Nenek Chester.
Teks: Dok. Majalah Bobo/ Fabel
Source | : | (Dok. Majalah Bobo / Fabel) |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR