Sejak pertama kali melihat Senecoza, pria penjual cinderamata Afrika itu, Steve tidak percaya padanya. Steve baru saja tiba di Pantai Timur, Afrika. Mungkin karena Steve berasal dari Virginia, kota besar, maka ia selalu berhati-hati.
Tubuh Senecoza sangat tinggi, sekitar 190 cm. Berat badannya kira-kira seratus kg. Tubuhnya bagai raksasa berotot. Dahinya tinggi, matanya melotot, hidungnya tipis. Rambutnya sama keritingnya dengan suku Bushman dan warna kulitnya lebih hitam dari suku Masai. Steve yakin, Senecoza berasal dari suku yang berbeda dari suku-suku yang ia kenal.
Para pekerja di peternakan jarang melihat Senecoza. Namun, ia bisa tiba-tiba muncul di antara pekerja peternakan. Biasanya, ia akan berjalan melewati rumput-rumput setinggi bahu di padang rumput. Kadang ia tampak sendirian. Kadang dia diikuti beberapa orang suku Masai yang bergerombol agak jauh dari pagar benteng peternakan. Orang-orang suku Masai pedalaman biasanya membawa tombak. Mereka selalu gugup dan curiga pada orang asing.
Senecoza biasanya akan mengucapkan salam dengan sopan pada pekerja peternakan. Namun entah kenapa, Steve tetap curiga padanya. Mata Senecoza seperti sedang mengejeknya.
Pria tinggi itu biasanya datang membawa dagangannya. Benda-benda sederhana seperti ketel tembaga, kendi, pisau, gelang manik-manik, serta jimat pelindung. Setelah menerima uang dari para pekerja yang membeli dagangannya, ia akan pergi tanpa banyak bicara.
Steve tidak menyukai Senecoza. Dan karena masih muda dan tidak sabaran, Steve menceritakan isi hatinya pada Ludtvik Strolvaus, sepupunya. Ludtvik adalah pemilik peternakan yang sekaligus sebagai tempat perdagangan ternak. Steve tinggal di tempat itu, membantu pekerjaan Ludtvik.
Mendengar cerita Steve, Ludtvik hanya tertawa terbahak-bahak sambil memegang janggut pirangnya. Katanya, pria berotot itu sebetulnya baik hati.
"Di antara penduduk asli di sini, dia memang yang paling kuat. Semua takut padanya. Tapi, ia teman orang kulit putih seperti kita, Steve!” kata Ludtvik.
Ludtvik sudah lama tinggal di Pantai Timur. Ia tahu persis tentang suku-suku asli di daerah itu. Ia juga sangat ahli soal ternak Australia yang diternaknya di peternakan itu. Namun, ia kurang memerhatikan hal-hal kecil, pikir Steve.
Bangunan peternakan besar milik Ludtvik itu dikelilingi pagar tembok seperti benteng. Terletak di lereng gunung, terbentang sangat luas di atas tanah penggembalaan terbaik di Afrika. Pagar tembok bagai benteng itu, sangat aman sebagai tempat berlindung. Seribu ternak bisa diamankan di dalam benteng jika ada pemberontakan suku Masai.
Ludtvik sangat bangga pada peternakannya. "Jumlah ternakku seribu ekor sekarang," ujarnya dengan wajah bundar berseri-seri. “Sekarang baru seribu. Tapi nanti akan menjadi sepuluh ribu, lalu tambah sepuluh ribu lagi… Ini memang permulaan yang bagus, Steve.”
Steve mengakui, ia kurang tertarik mengurusi ternak. Biasanya, pekerja dari suku asli Afrika yang akan menggiring dan mengumpulkan semua ternak itu. Ludtvik dan Steve hanya berkuda berkeliling dan memberi perintah. Itulah pekerjaan yang paling disukai Ludtvik, dan Steve hanya mengikutinya.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR