Bobo.id – Siapa teman-teman yang berkesempatan mengunjungi Palembang?
Kalau begitu jangan sampai ketinggalan membeli berbagai macam makanan khasnya, ya!
Salah satunya yang tidak boleh ketinggalan adalah kue delapan jam.
BACA JUGA: Kabar Asyik Buat Penyuka Bola, Facebook Messenger Rilis Fitur Piala Dunia
Dari namanya saja sudah terdengar unik.
Ternyata kue ini pun punya sejarah dan cara pembuatan yang juga tak kalah unik.
Penasaran dengan apa yang disebut kue delapan jam?
Langsung simak info selengkapnya di bawah ini.
BACA JUGA: Pojok Baca untuk Anak-anak di Pekan Raya Jakarta
Sejarah Kue Delapan Jam
Nama kue delapan jam diambil dari lama waktu memasaknya.
Ya, kita harus menunggu sampai delapan jam jika kita mau menikmati kue ini.
Selain lama membuatnya, masyarakat Palembang juga menyukai rasanya yang legit.
Tapi kenapa harus delapan jam?
BACA JUGA: Rok Tutu Dibuat Selama 60 Jam, Cari Tahu Fakta Lain Seputar Balet
Dilansir dari berbagai sumber, jika dibuat di bawah delapan jam, maka hasilnya bisa kurang padat.
Warnanya pun tidak cokelat.
Jika dibuat tepat delapan jam atau lebih, maka rasanya akan lebih enak dan legit.
Kue juga lebih awet.
Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kue ini juga cukup unik.
BACA JUGA: Machineel, Pohon Penahan Erosi yang Bisa Menyebabkan Kematian
Kue delapan jam tidak menggunakan tepung sebagai bahan campurannya.
Namun menggunakan telur bebek dan banyak gula.
Gula inilah yang akan jadi pengawet alami bagi kue.
Konon, karena orang zaman dahulu tidak memiliki kulkas, maka bahan-bahan kue ini dibuat sedemikian rupa agar tahan lama.
BACA JUGA: Mudik? Hindari Makanan dan Minuman Ini, Supaya Perut Tetap Sehat
Karena itu, tanpa disimpan di kulkas, kue ini bisa bertahan 3 hingga 5 hari.
Para bangsawan pada zaman dulu pun menjadikan kue delapan jam ini sebagai camilan sehari-hari.
Wah, unik banget, kan?
Jadi penasaran bagaimana rasa kue delapan jam ini?
Bagi teman-teman yang berkunjung ke Palembang, jangan lupa beli, ya!
Lihat video ini juga, yuk!
Penulis | : | Lena Astari |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR